Pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) yang
kembali akan digelar dalam jangka masa terdekat tahun ini oleh pemerintah (Diknas)
paling tidak akan menghadapi tantangan
dilematis pasca keputusan penghapusannya oleh Mahkamah Agung (MA). Dilema
tersebut muncul dari dua arah asumsi yang
berbeda dalam lingkungan birokrasi institusi negara, yaitu Diknas dan Mahkamah
Agung
Diknas berpandangan agar unas tetap harus
diteruskan sebab merupakan metode yang paling baik sebagai instrumen untuk
mengukur nilai dan kompetensi kelulusan murid.
Alasannya, dengan cara apa lagi dapat mengevaluasi hasil sistem pembelajaran
dalam skala nasional jika tidak ada standar penilaian yang ditentukan dan dilaksanakan.
Sedangkan Mahkamah Agung memandang Unas
perlu dihapuskan. Pertimbangannya adalah hasil dari laporan dan penemuan
fakta-fakta di lapangan bahwa pelaksanaan unas yang selama ini dijalankan tidak
efektif dan kurang valid sebagai alat ukur ukur prestasi peserta didik. Implikasinya
adalah unas telah banyak menimbulkan problem, baik yang dialami oleh murid
maupun praktisi pendidikan di lapangan seperti guru dan kepala sekolah.
Dimensi dan Akar Dualistik
Respon yang berbeda terhadap pelaksanaan
unas diatas mengabsahkan wujudnya dua bentuk asumsi kebenaran oleh
masing-masing pihak yang saling bertentangan. Keduanya menganggap sama-sama
benar dalam satu waktu dan keadaan ketika melihat dan memahami suatu problem dalam realitas
sosial tertentu. Jika ditelisik lebih jauh, pola seperti ini dapat dilihat
sebagai ciri dari faham dualisme dan dikotomi.
Asumsi yang pertama lebih bercorak
subyektif dalam menilai dan menentukan
standar mutu pendidikan. Sedangkan yang kedua cenderung bersifat obyektif melihat
fenomena dan implikasi-implikasi yang timbul akibat pelaksanaan Unas di
lapangan. Justeru jika kedua asumsi ini difahami dan dibiarkan secara terpisah
dan berlawanan, tentu akan membawa dilema dan “konflik” yang berlarutan yang
akan menimbulkan komplikasi negatif dalam masyarakat seperti pelajar yang stres
karena gagal Unas hingga ada yang nekat bunuh diri atau melakukan penyimpangan perilaku lainnya.
Implikasi dualistik tersebut akan menimbulkan sikap keraguan, spekulasi untuk
meneruskan Unas atau tidak, dan akhirnya menimbulkan kurang percaya diri baik
di kalangan pemerintah, praktisi pendidikan, bahkan murid yang mengikuti Unas, serta masyarakat pada umumnya jika
pemerintah tidak dapat memberikan kepastian dan ketegasan dalam kebijakan unas.
Fenomena demikian juga bisa menimbulkan rasa tidak aman (terror) yang
akan mempengaruhi mental dan psikologi pelajar ketika berhadapan dengan Unas
sementara perangkat pendukung kesiapan pengajaran dan pembelajaran kurang
memadai, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal.
Jika dilihat secara seksama, kedua pandangan
yang pro dan kontra ini lebih didominasi oleh aspek nilai (aksiologis) dalam melihat baik dan buruknya Unas. Penilaian ini juga merefleksikan keterkaitan antara tujuan dan urgensitas Unas untuk dilaksanakan. Namun
jika dilihat akar masalah kedua pandangan ini, memang cukup sukar untuk
didamaikan sebab ia bersumber dari ketimpangan proses pembangunan dan
pelaksanakan pendidikan yang berlangsung secara parsial serta tidak merata di
Indonesia. Masih wujudnya disparitas dan kesenjangan pendidikan antara wilayah
atau daerah yang maju dengan yang masih tertinggal, antara yang di Jawa dan
luar Jawa, kota dan desa, apatah lagi
pulau-pulau terpencil lainnya.
Maknanya, ini menjadi tidak adil ketika standar
kelulusan nasional yang terapkan di wilayah yang maju juga diberlakukan di
daerah yang terpencil, sementara
perangkat dan fasilitas pendidikan serta faktor-faktor penunjang kesiapan
pelajar di setiap wilayah tidak merata bahkan cenderung tidak memadai.
Konsistensi Integratif
Oleh sebab itu, Unas perlu tetap dijalankan
dengan syarat harus dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dalam skala menyeluruh
terhadap seluruh elemen penting dalam pendidikan seperti guru yang
profesional, sarana pendidikan yang standar, fasilitas belajar yang optimal, dan
sebagainya.
Kedua, segala produk kebijakan pendidikan harus
dilaksanakan secara konsisten, tegas, dan arif, serta terpadu melalui integrasi antara komponen institusi pendidikan lainnya dengan
aspek legalitas hukumnya. Dalam hal ini, perancangan dan pelaksanaan Unas perlu
di- back-up oleh legalitas hukum yang memadai sehingga dapat dilihat asas
nilai baik-buruknya (aksiologis), legalitas serta integritasnya. Sehingga
dikemudian hari tidak akan berlaku lagi kasus pelaporan unas yang dianggap
“cacat hukum” akibat implikasi pelaksanaannya.
Ketiga, pelaksanaan Unas ini juga perlu
didasari oleh aspek penilaian integratif antara pusat dengan pihak sekolah terhadap
prestasi murid sehingga hasil Unas bukan hanya terbatas pada aspek kognitif
murid. Penilaian Unas juga perlu mencakupi aspek afektif dan psikomotorik murid
yang ditentukan oleh guru dan kepala sekolah harus benar-benar menjadi nilai
tambah terhadap kelulusan pelajar sebagaimana dalam semangat otonomi pendidikan.
Munculnya pelajar yang prestasi akademiknya sangat menonjol justeru memiliki
tingkah laku yang yang kurang baik. Ini berarti keberhasilan secara kognitif
tanpa dibarengi oleh kebaikan dalam tataran apektif dan psikomotorik akan
memberikan kepincangan terhadap potensi individu pelajar.
Terakhir, sistem evaluasi integratif yang
menyeluruh perlu benar-benar diawasi dan dimonitor secara maksimal di lapangan
sehingga tidak menimbulkan berbagai problem kecurangan dan spekulasi umum yang kemudian
menimbulkan multitafsir dan situasi dilematis lagi . Ini bukan saja dalam
tataran pelaksanaan Unas saja melainkan juga pada tataran pelaksanaan pengajaran dan
pembelajaran sehari-hari di lapangan. Jika seumpamanya ditemukan guru atau
kepala sekolah dengan sengaja didapati melakukan kecurangan dengan berbagai
macam bentuk bantuan yang diberikan kepada murid agar bisa lolos ujian,
tentunya pihak-pihak tersebut juga harus menerima konsekuensi hukum.
Tanpa adanya kesemua itu sulit bagi dunia
pendidikan kita untuk bisa keluar dari
dilema dualistik yang selama ini membayang-bayangi, bukan saja dalam tataran pelaksanaan
Unas saja tapi juga dualisme dalam pemikiran, sistem maupun pelaksanaan
pendidikan kita secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment