Select Language

Thursday, December 6, 2012

Dilema Dualistik Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) yang kembali akan digelar dalam jangka masa terdekat tahun ini oleh pemerintah (Diknas) paling tidak akan menghadapi  tantangan dilematis pasca keputusan penghapusannya oleh Mahkamah Agung (MA). Dilema tersebut muncul dari  dua arah asumsi yang berbeda dalam lingkungan birokrasi institusi negara, yaitu Diknas dan Mahkamah Agung

Diknas berpandangan agar unas tetap harus diteruskan sebab merupakan metode yang paling baik sebagai instrumen untuk mengukur  nilai dan kompetensi kelulusan murid. Alasannya, dengan cara apa lagi dapat mengevaluasi hasil sistem pembelajaran dalam skala nasional jika tidak ada standar penilaian yang ditentukan dan dilaksanakan.

Sedangkan Mahkamah Agung memandang Unas perlu dihapuskan. Pertimbangannya adalah hasil dari laporan dan penemuan fakta-fakta di lapangan bahwa pelaksanaan unas yang selama ini dijalankan tidak efektif dan kurang valid sebagai alat ukur ukur prestasi peserta didik. Implikasinya adalah unas telah banyak menimbulkan problem, baik yang dialami oleh murid maupun praktisi pendidikan di lapangan seperti guru dan kepala sekolah.

Dimensi dan Akar Dualistik

Respon yang berbeda terhadap pelaksanaan unas diatas mengabsahkan wujudnya dua bentuk asumsi kebenaran oleh masing-masing pihak yang saling bertentangan. Keduanya menganggap sama-sama benar dalam satu waktu dan keadaan ketika  melihat dan memahami suatu problem dalam realitas sosial tertentu. Jika ditelisik lebih jauh, pola seperti ini dapat dilihat sebagai ciri dari faham dualisme dan dikotomi. 

Asumsi yang pertama lebih bercorak subyektif dalam  menilai dan menentukan standar mutu pendidikan. Sedangkan yang kedua cenderung bersifat obyektif melihat fenomena dan implikasi-implikasi yang timbul akibat pelaksanaan Unas di lapangan. Justeru jika kedua asumsi ini difahami dan dibiarkan secara terpisah dan berlawanan, tentu akan membawa dilema dan “konflik” yang berlarutan yang akan menimbulkan komplikasi negatif dalam masyarakat seperti pelajar yang stres karena gagal Unas hingga ada yang nekat bunuh diri  atau melakukan penyimpangan perilaku lainnya.

Implikasi dualistik tersebut akan  menimbulkan sikap keraguan, spekulasi untuk meneruskan Unas atau tidak, dan akhirnya menimbulkan kurang percaya diri baik di kalangan pemerintah, praktisi pendidikan, bahkan murid yang  mengikuti Unas, serta masyarakat pada umumnya jika pemerintah tidak dapat memberikan kepastian dan ketegasan dalam kebijakan unas. Fenomena demikian juga bisa menimbulkan rasa tidak aman (terror) yang akan mempengaruhi mental dan psikologi pelajar ketika berhadapan dengan Unas sementara perangkat pendukung kesiapan pengajaran dan pembelajaran kurang memadai, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal.

Jika dilihat secara seksama, kedua pandangan yang pro dan kontra ini lebih didominasi oleh aspek nilai (aksiologis) dalam melihat baik dan buruknya Unas. Penilaian  ini juga merefleksikan  keterkaitan antara tujuan dan urgensitas Unas untuk dilaksanakan. Namun jika dilihat akar masalah kedua pandangan ini, memang cukup sukar untuk didamaikan sebab ia bersumber dari ketimpangan proses pembangunan dan pelaksanakan pendidikan yang berlangsung secara parsial serta tidak merata di Indonesia. Masih wujudnya disparitas dan kesenjangan pendidikan antara wilayah atau daerah yang maju dengan yang masih tertinggal, antara yang di Jawa dan luar Jawa, kota dan desa,  apatah lagi pulau-pulau terpencil lainnya. 

Maknanya,  ini menjadi tidak adil ketika standar kelulusan nasional yang terapkan di wilayah yang maju juga diberlakukan di daerah yang terpencil,  sementara perangkat dan fasilitas pendidikan serta faktor-faktor penunjang kesiapan pelajar di setiap wilayah tidak merata bahkan cenderung tidak memadai.

Konsistensi Integratif

Oleh sebab itu, Unas perlu tetap dijalankan dengan syarat harus dibarengi dengan perbaikan-perbaikan dalam skala menyeluruh terhadap seluruh elemen penting dalam pendidikan seperti guru yang profesional, sarana pendidikan yang standar, fasilitas belajar yang optimal, dan sebagainya. 

Kedua, segala produk kebijakan pendidikan harus dilaksanakan secara konsisten, tegas, dan arif, serta terpadu  melalui integrasi  antara komponen institusi pendidikan lainnya dengan aspek legalitas hukumnya. Dalam hal ini, perancangan dan pelaksanaan Unas perlu di- back-up oleh legalitas hukum yang memadai sehingga dapat dilihat asas nilai baik-buruknya (aksiologis), legalitas serta integritasnya. Sehingga dikemudian hari tidak akan berlaku lagi kasus pelaporan unas yang dianggap “cacat hukum” akibat implikasi pelaksanaannya.

Ketiga, pelaksanaan Unas ini juga perlu didasari oleh aspek penilaian integratif antara pusat dengan pihak sekolah terhadap prestasi murid sehingga hasil Unas bukan hanya terbatas pada aspek kognitif murid. Penilaian Unas juga perlu mencakupi aspek afektif dan psikomotorik murid yang ditentukan oleh guru dan kepala sekolah harus benar-benar menjadi nilai tambah terhadap kelulusan pelajar sebagaimana dalam semangat otonomi pendidikan. 

Munculnya pelajar yang prestasi akademiknya sangat menonjol justeru memiliki tingkah laku yang yang kurang baik. Ini berarti keberhasilan secara kognitif tanpa dibarengi oleh kebaikan dalam tataran apektif dan psikomotorik akan memberikan kepincangan terhadap potensi individu pelajar.
Terakhir, sistem evaluasi integratif yang menyeluruh perlu benar-benar diawasi dan dimonitor secara maksimal di lapangan sehingga tidak menimbulkan berbagai problem kecurangan dan spekulasi umum yang kemudian menimbulkan multitafsir dan situasi dilematis lagi . Ini bukan saja dalam tataran pelaksanaan Unas saja melainkan juga  pada tataran pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran sehari-hari di lapangan. Jika seumpamanya ditemukan guru atau kepala sekolah dengan sengaja didapati melakukan kecurangan dengan berbagai macam bentuk bantuan yang diberikan kepada murid agar bisa lolos ujian, tentunya pihak-pihak tersebut juga harus menerima konsekuensi hukum. 

Tanpa adanya kesemua itu sulit bagi dunia pendidikan kita untuk  bisa keluar dari dilema dualistik yang selama ini  membayang-bayangi, bukan saja dalam tataran pelaksanaan Unas saja tapi juga dualisme dalam pemikiran, sistem maupun pelaksanaan pendidikan kita secara keseluruhan.


Anda sedang membaca artikel tentang Dilema Dualistik Ujian Nasional dan anda bisa menemukan artikel Dilema Dualistik Ujian Nasional ini dengan url http://hasyimustamin.blogspot.com/2012/12/dilema-dualistik-ujian-nasional.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Dilema Dualistik Ujian Nasional ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Dilema Dualistik Ujian Nasional sumbernya.

No comments: