Abstract
This article is discussing about
basic of historical dualism in the system of education in Indonesia. In general, the idea is that,
for some particular domain, there are two fundamental kinds or categories of
things or principles. In the philosophy of mind, dualism is the
theory of mental and the physical — or mind and body or mind and brain —Historically, the embryo of educational dualism in Islamic world was
begun since the Islamic world have expanded with the Western colonialization. In
muslim countries, the two systems which
have been operating are traditional or religious education and the secular or
pragmatic education.
This was continually developed in form of way of thinking and education institutions, and finally created the way of dichotomy thinking between general science and religion science. This article argues that in education system of Indonesia, dualism implications implicitly shows the difference in education institution between Dikti and Depag and also the conflict between the two systems is prevalent at the theoretical and at the practical levels.
This was continually developed in form of way of thinking and education institutions, and finally created the way of dichotomy thinking between general science and religion science. This article argues that in education system of Indonesia, dualism implications implicitly shows the difference in education institution between Dikti and Depag and also the conflict between the two systems is prevalent at the theoretical and at the practical levels.
Keywords: History, Dualism,
Islam , Eduacation, Indonesia
Masalah dualisme pendidikan merupakan salah satu hal yang telah
lama menjadi perdebatan para pemikir dan pemerhati pendidikan di seluruh
dunia. Isu dualisme ini pernah hangat
didiskusikan pada masa dan setelah konferensi se-dunia pertama tentang
Pendidikan Islam yang berlangsung di Makkah pada tahun 1977. Bahkan persoalan
dualisme dalam sistem pendidikan di beberapa belahan negara-negara yang
mayoritas penduduknya muslim saat ini masih sangat dirasakan. Persoalan itu muncul dari adanya pemilahan antara ilmu-ilmu umum di satu
sisi dan ilmu agama di sisi lain.
Menurut Tajul Ariffin Nordin (1993), adanya
dualisme dalam pendidikan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari
terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan. Ini disebabkan wujudnya dualisme yang
melihat agama dan ilmu sebagai dua hal yang tidak dapat dipertemukan sehingga kondisi
dan lingkungan pendidikan yang ada hari ini sukar untuk menghasilkan manusia
yang seimbang dan terintegrasi baik dari segi intelektual, jasmani dan
kerohanian. Hasil dari keadaan tersebut telah memunculkan kurikulum pendidikan
yang memperlihatkan pemisahan antara pengajaran agama dan (kerohanian) dengan
disiplin-disiplin akal yang lain. Keduanya mempunyai wilayah-wilayah
sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek
formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peranan yang dimainkan
oleh ilmuan maupun status teori masing-masing bahkan sampai kepada institusi
pelaksanaannya.
Dalam lingkup dunia Islam, banyak usaha-usaha yang
telah dilakukan paling tidak untuk mengurangi implikasi adanya dualisme ini,
sebelum dapat menghapuskannya secara keseluruhan, baik
dalam bentuk gagasan dan pola interaksi antara pemerintah dan pelopor
pembaharuan dalam pendidikan Islam.
Usaha lainnya juga melingkupi upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan
integrasi ilmu. Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk
beragama Islam, juga memperlihatkan adanya fenomena dualisme dalam sistem
pendidikan nasionalnya. Hal ini dapat
dicermati melalui, salah satunya, dalam institusi pendidikan di Indonesia yang
mengalami dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama (Azra, 2002).
Oleh karena itu, segala usaha islamisasi ilmu
pengetahuan dan integrasi ilmu untuk meminimalisir dampak atau implikasi dualisme
pendidikan, cukup relevan dengan konteks Indonesia yang merupakan negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia. Namun aspek sejarah dualisme pendidikan di
Indonesia menjadi salah satu faktor determinan untuk memberi pemahaman akan
adanya kesenjangan besar antara dampak
pemikiran dualisme dengan pemikiran Islam dalam sistem pendidikan di
Indonesia dewasa ini. Dengan menyadari kontradiksi
tersebut, maka keberadaan dualisme dalam pendidikan di Indonesia perlu
ditelusuri melalui perspektif historis pemikiran dualisme sehingga bisa muncul
seperti sekarang ini. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk
menyelidiki akar historis terjadinya dualisme tersebut dan akan melihat
bagaimana keterkaitannya dengan konteks pendidikan di Indonesia.
Asal-usul Pemikiran Dualisme
Perkataan “dualisme”
adalah gabungan dua perkataan dalam bahasa latin yaitu “dualis” atau
“duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo”
memberi arti kata dua. Sedangkan “ismus”
berfungsi membentuk kata nama bagi satu kata kerja. Oleh karena itu,
dualisme ialah keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah satu sistem atau teori
yang berdasarkan kepada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi. Rosnani Hashim (1996) menyatakan bahwa dualisme
adalah dua faham yang memiliki asas dan landasan yang berbeda baik secara
historis, filosofis maupun ideologi. Dalam Ensiklopedi Columbia (1963) dualisme adalah suatu konsep yang
berhubungan dengan kewujudan dua elemen yang berbeda pada suatu benda atau
perkara. Asal ide
ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika yang lahir dari
alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan raga manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh
Syed Naquib al-Attas (1978) bahwa asal usul konsep dualisme terkandung
dalam pandangan hidup tentang alam (world
view), serta nilai-nilai yang membentuk
budaya dan peradaban Barat.
Gagasan tentang dualisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak
zaman Plato dan Aristoteles yang memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan
dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa kecerdasan seseorang merupakan
bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan
dengan fisik. Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga,
fenomena mental adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik. Oleh itu, faham dualisme ini melihat fakta secara mendua. Akal dan
materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body)
tidak saling terkait satu sama lain (Russel, 1961).
Dualisme yang dikenal secara umum ke hari ini diterapkan
oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi
nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali memodifikasi dualisme dan mengidentifikasi
dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak,
sebagai tempat kecerdasan. Baginya yang riil itu adalah
akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi
sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance).
Dualisme dalam Sejarah
Filsafat Barat
Sejarah
peradaban barat (Kristen) sejak zaman Romawi, ternyata memberikan pengaruh
besar terhadap terjadinya dualisme ilmu pengetahuan. Penentangan para ilmuwan barat terhadap gereja
yang melembagakan ajaran dan doktrin agama Kristen menjadi penentu kebenaran
ilmiah merupakan akar yang paling berpengaruh terhadap keberlangsungan bentuk dan
eksistensi faham dualisme. Kekuasaan
Gereja yang berada di tangan paderi begitu dominan dalam kehidupan masyarakat Barat,
bahkan menjadi pegangan hidup mutlak. Pernyataan seorang Paderi dianggap kudus
dan penentangan terhadapnya dianggap kafir.
Gereja menganggap ilmu membawa kekafiran dan segala pendapat yang keluar
dari gereja adalah ilmiah sehingga kebebasan berfikir tidak wujud. Gereja mau manusia menurut segala ilmu dan
teorinya. Temuan-temuan ilmiah yang tidak bersesuaian dengan doktrin gereja
harus dibatalkan demi menjaga kewibawaan gereja (Russel,
1961).
Dalam sejarah filsafat Barat, terdapat banyak ilmuwan yang mempertahankan
pendirian ilmiahnya sehingga mereka menjadi korban kekejaman gereja. Galileo
Galilei misalnya, terbunuh saat berhadapan dengan paham Kristen. Justeru itu,
para ilmuwan yang menggunakan pendekatan rasional (akal) berpandangan bahwa
ajaran-ajaran agama kristen yang dilembagakan oleh gereja tersebut baik secara
konsep dan pelaksanaannya menjadi penghalang yang serius bagi munculnya
kreatifitas keilmuan dan tentunya juga bagi kemajuan peradaban. Para ilmuan
menganggap agama tidak boleh dijadikan sandaran dalam merumuskan
formula-formula sains dan justeru doktrin agama harus dipisahkan dan dijauhkan dari
ilmu pengetahuan. Suasana seperti inilah yang kemudian menjadi penolakan
terhadap agama dan menerima kekuatan berpikir rasional, akibatnya epistemologi
ilmu di Barat menjadi dualistik dan
memunculkan renaissance. Masa renaissance inilah yang melahirkan
sekularisasi (pemisahan urusan dunia dan agama). Lahirnya sekularisasi yang
kemudian menimbulkan dikotomi merupakan upaya membebaskan para ilmuan untuk
berkreatif dalam melakukan penelitian dan eksperimen tanpa takut
dibayang-bayangi oleh ancaman gereja (Bowen, 1975).
Sekularisasi inilah yang memberi dampak adanya
dikotomi yang memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern sehingga memunculkan
dualisme pemikiran baik di kalangan intelektual Barat ataupun dunia Muslim. Dualisme dalam sistem pendidikan di negara-negara umat Islam tidak
mempunyai hubungan secara langsung dengan faham dualisme Plato dan Aristoteles.
Sebaliknya faham dualisme pendidikan tersebut erat kaitannya dengan faham
sekularisme yang merupakan bentuk dualisme yang baru dalam pemahaman filsafat
modern hari ini. Sungguhpun begitu sekularisme tidak dapat dipisahkan dengan asal
mula faham dualisme Barat, karena ia
lahir dari kandungan faham itu. Faham yang jelas terlihat di Barat pada abad
ke-17 M tersebut akhirnya menjadi pemikiran yang dominan dikebanyakan negara di
dunia termasuk juga di negara-negara umat Islam pada abad ke-19 dan 20 M (Said,
1998).
Dualisme dan Sistem Pendidikan Islam
Dalam
kaitannya dengan pendidikan, dualisme merupakan konsep yang berhubungan dengan
wujudnya dua sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama yang berbeda
dan keduanya tidak berintegrasi. Oleh itu, perjalanan kedua sistem pendidikan
ini selalu berlawanan antara satu sama lain (al-Attas, 1978). Sistem pendidikan
agama (tradisional) tumpuannya adalah
kepada ilmu-ilmu agama, sedangkan sistem pendidikan umum (modern) lebih
menumpukan kepada ilmu-ilmu yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama
(sekuler).
Fenomena dualisme sistem pendidikan yang terjadi
hampir di semua Dunia Islam merupakan manifestasi dari cara pandang terhadap
ilmu yang masih dikotomik, dimana ada ilmu agama di satu sisi dan ada ilmu umum
di sisi lain. Kondisi yang demikian sebenarnya sudah
ada sejak peradaban Islam mengalami era kemunduran secara politik dan
intelektual yang ditandai dengan adanya stagnasi berpikir di kalangan umat
Islam. Disamping itu, kekuatan kolonial Barat yang memasuki dan menjajah hampir
semua negara-negara Islam dari Maroko di Afrika utara, India di Asia Tengah
sampai Indonesia di Asia Tenggara merasakan secara langsung dampak dari tekanan
politik, ekonomi, budaya dan pengaruh pendidikan barat(Amin Abdullah, 2003).
Dalam kajian Rosnani
Hashim (1996) dinyatakan bahwa salah satu penyumbang terjadinya dualisme
pendidikan adalah penjajahan atau kolonialisasi di negera-negara yang mayoriti
penduduknya muslim yang mengakibatkan adanya dikotomi ilmu. Adanya dualisme
inilah yang mengakibatkan wujudnya institusi pendidikan Islam seperti madrasah
dan juga sekolah umum. Selama beberapa abad, secara
umum pendidikan muslim mengalami kemerosotan pada periode disintegrasi muslim
pasca klasik dan selanjutnya berhadapan dengan hegemoni Barat dibidang ekonomi,
politik dan intelektual. Situasi dunia Islam yang mengalami kemunduran dan
keterbelakangan akibat krisis tersebut memberi dampak terhadap wawasan
pendidikan Islam menjadi sempit, pendidikan Islam hanya dibatasi pada pengertian
teologis, dimana studi-studi asing non-agama dihilangkan, bahkan sangat dicurigai.
Pendidikan Islam hanya membahas pada tema-tema atau pelajaran keagamaan
tradisional yang hanya memenuhi kebutuhan praktis keagaman dan kehidupan
keluarga.
Fenomena ini menurut Azyumardi Azra (2002) dan
Amin Abdullah (2003) dapat ditelusuri diantara pengikut aliran Mu’tazilah dan
ulama ortodoksi sunni (Asy’ariyyah) yang memasuki wilayah pertentangan teologi
sehingga menimbulkan fanatisme aliran yang berlebihan. Pemisahan ilmu naqly dan aqly atau ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum. Pandangan aliran Mu’tazilah yang menyatakan bahawa
penggunaan filsafat dan ilmu-ilmu nalar (aqly)
merupakan upaya untuk menjelaskan al-Haqq (Allah)
merupakan sumber seluruh kebenaran. Sehingga dengan demikian, filsafat sangat
berguna untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran dengan pendekatan
pemikiran atau nalar intelektual dan rasional. Namun ortodoksi Sunni pada saat
yang sama semakin cenderung menolak filsafat dan ilmu-ilmu pra-islam (al-Ulum
al-awail) lain yang bersumber dari penalaran rasional (Azra, Azyumardi 2002).
Penolakan terhadap kedua bidang besar ilmu ini didasari oleh anggapan bahawa
masing-masing bersumber dari penalaran dan pengujian spekulatif yang menurut
ulama ortodok sunni tidak selalu selaras dan bahkan boleh bertentangan dengan
wahyu (al-Qur’an).
Beriringan dengan kebangkitan ilmu-ilmu murni Islam
seperti hadist, ulumul qur’an, tafsir, fiqh dan semacamnya sejak abad ke-7 dan
ke-8, juga berkembang filsafat, kalam dan sains. Bahkan filsafat, kalam dan
sains mengalami kemajuannya pada abad ke-9 dan ke-10; masa yang sering disebut sebagai salah satu puncak
dari kemajuan ilmu pengetahuan dalam tamadun (peradaban) islam. Namun masa
kejayaan ilmu pengetahuan dalam tamadun Islam ini bertahan tidak terlalu lama,
kerana filsafat, kalam, dan sains semakin dicurigai dan mendapat perlawanan
dari ulama ortodok, khusunya ketika aliran kalam (teologi) mu’tazilah yang
menekankan freewill dan freeact justeru memaksakan pahaman mereka
kepada para ulama.
Justeru pada masa inilah ilmu-ilmu umum yang
meliputi ilmu dasar bagi pengembangan sains dan teknologi semakin
terpinggirkan. Meski Islam pada dasarnya tidak membedakan ilmu-ilmu agama
dengan ilmu umum. Keterpisahan secara diametral antara keduanya dan sebab-sebab
lain yang bersifat politis-ekonomis, berakibat rendahnya kualitas pendidikan
dan kemunduran dunia islam pada umumnya. Dalam konteks perkembangan peradaban
islam, dikotomi ilmu-ilmu tadi yang diiringi dengan penekanan khas pada ilmu
agama menjadi salah satu sebab utama keterbelakangan kaum muslimin dalam sains
dan teknologi.
Pengajaran ilmu-ilmu agama islam yang
normatif-tekstual terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum ilmu kemanusiaan yang lainnya (Amin Abdullah, 2003).
Akibat yang timbul disebabkan dikotomi tersebut sama ada barat (Kristen)
mahupun Timur (Islam) adalah tersosialisasikannya adanya pemisahan
(sekularisasi) antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama.
Pengetahuan umum yang meliputi disiplin bidang ilmu kemanusiaan yang lain
dimaksudkan sebagai ilmu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama.
Sedangkan ilmu pengetahuan agama dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang
terbatas pembahasannya pada masalah-masalah akidah, ibadah dan akhlak semata. Dengan
kata lain. ilmu pengetahuan agama adalah ilmu pengetahuan yang hanya terbatas
pada pembahasan keimanan, ritual dan etik. Selanjutnya dikotomi pengetahuan ini
melahirkan dikotomi pendidikan, sehingga memunculkan pendidikan umum dan
pendidikan agama.
Proses Internalisasi Dualisme dalam Sistem Pendidikan
Indonesia
Munculnya dualisme dalam sistem pendidikan di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kemunduran dunia Islam yang
didominasi oleh pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik dan
juga pengaruh penjajahan Barat sebagaimana yang telah disentuh sebelumnya. Oleh
itu, sistem pendidikan di Indonesia di satu sisi masih mewarisi pola pendidikan
Islam (tradisional) dan di satu sisi mewarisi sistem penjajah (Barat). Karel A.
Steenbrink (1986) mendapati bahawa asal usul sistem pendidikan yang dualistik
di Indonesia telah bermula sejak zaman kolonial Belanda hingga berlanjut ke
zaman kemerdekaan. Penolakan politik pemerintah kolonial penjajah untuk
menyesuaikan diri dan menggabungkan sistem pendidikan agama Islam seperti
pondok pesantren yang telah ada sebelumnya menjadi dasar untuk mengembangkan
sekolah-sekolah umum menjadi salah satu sebab wujudnya sekolah-sekolah yang
menggunakan sistem pendidikan kolonial.
Sejak masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam telah berlangsung
dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara muballig (pendidik) dengan
peserta didiknya. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam pertama yang muncul
disamping rumah tempat kediaman para ulama maupun muballig. Setelah itu
muncullah lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya seperti pesantren, dayah dan
surau. Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu
agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Pendidikan Islam
yang sedemikian rupa sangat kontras dengan pendidikan Barat yang dibangun oleh
pemerintah kolonial. Pendidikan kolonial ini bersifat sekuler, tidak
mengajarkan sama sekali ilmu agama di sekolah pemerintah. Begitu pula
sebaliknya, pendidikan Islam di masa itu tidak mengajarkan sama sekali
ilmu-ilmu umum. Kenyataan ini membuat terpolanya pendidikan di Indonesia pada
ketika ini dengan dua sistem yang saling kontras tersebut.
Steenbrink (1986) dalam tulisannya mengutip
pernyataan .J.A Van der Chijs, seorang
inspektur pendidikan pribumi pertama yang dilantik dalam kalangan pegawai
pemerintah kolonial Belanda, yang
menyatakan bahawa ”Walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi
dengan kebiasaan peribumi, namun saya tidak menerimanya kerana kebiasaan
tersebut terlalu jelek, sehingga tidak dapat diguna pakai dalam sekolah
pribumi”. Para sarjana kolonial pada masa itu menyatakan bahawa tradisi
didaktik pendidikan pribumi seperti membaca teks arab dan penggunaan kaedah
hafalan tidak dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan suatu sistem pendidikan
umum.
Maka didirikanlah sejumlah sekolah kristen di
Minahasa Sulawesi dan Maluku yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah dan manajemennya
dilaksanakan oleh para zending
kristian. Sama seperti lembaga pendidikan Islam, sekolah ini pada awalnya
hampir seratus persen memusatkan diri pada pendidikan agama kristen. Walau guru-guru setempat yang mendapatkan
pendidikan dari lembaga tersebut bertujuan untuk mempersiapkan
pemimpin-pemimpin agama bagi masyarakat setempat, namun bagi penjajah kolonial
sekolah ini lebih mudah penggabungannya untuk memasukkan sekolah tersebut ke
dalam sistem sekolah umum berbanding lembaga pendidikan Islam seperti
pesantren. Hal itu antara lain kerana disebabkan murid di sekolah umum sudah terbiasa
dengan tulisan romawi dibandingkan dengan tulisan dan bahasa arab. Faktor lain juga adalah
disebabkan oleh adanya hubungan organisasi yang bersifat kepentingan ideologis
antara pemerintah kolonial dan zending dibandingkan dengan islam.
Dalam perkembangan berikutnya sekolah zending
kristenn ini masuk kedalam sistem pendidikan umum gubernemen (adopsi bahasa Belanda-pen) dan diberikan dasar-dasar
ilmu hitung dan ilmu-ilmu dasar yang lain bagi memenuhi keperluan pegawai gubernemen penjajah. Pada pergantian
abad ke 20, beberapa tokoh kolonial penjajah berfikir untuk mencari kemungkinan
melibatkan pendidikan Islam bagi pengembangan sistem pendidikan umum. Hal itu
disebabkan kerana pendidikan Islam dibiayai oleh rakyat sendiri dan dengan demikian
pendidikan umum akan dapat dilaksanakan dengan penggunaan biaya yang lebih
murah. Akan tetapi kerana alasan politik, penggabungan sistem tersebut tidak
terlaksana sehingga akhirnya konsekuensi logisnya pemerintah Belanda tidak mau
mencampuri persoalan Islam. Pemerintah kolonial beranggapan bahawa tidak ada
keuntungan yang dapat diraih dari lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, didirikanlah apa yang disebut dengan sekolah desa,
sebuah lembaga pendidikan sederhana yang membuka jalan bagi wujudnya pendidikan
umum untuk semua masyarakat. Sekolah Islam semenjak itu mengambil jalan
sendiri, lepas dari gubernemen, tetap
berpegang pada tradisinya sendiri namun terbuka untuk perubahan dalam
tradisinya tersebut.
Dualisme Institusi Pendidikan dan Upaya Integrasinya
Demikanlah sejak permulaan abad 20 pendidikan Islam
mulai mengembangkan satu model pendidikan sendiri yang berbeda dan terpisah dari
sistem pendidikan Belanda maupun sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh departemen
pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Dari sini nampak, sebagaimana Mahmud Yunus
(1979) melihat, bahawa sistem pendidikan umum di Indonesia, bukanlah muncul
akibat penyesuaiannya dengan sistem pendidikan Islam tradisonal. Sebaliknya
sistem pendidikan Islam yang pada akhirnya lama kelamaan akan menyesuaikan diri
dan masuk ke dalam sistem pendidikan umum.
Kemunculan institusi madrasah pada paruh berikutnya yang dipelopori oleh
beberapa ulama seperti Abdullah Ahmad, Zainuddin Labay el-Yunusi (1890-1924),
KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari serta beberapa ulama dan tokoh sesudahnya
yang tersebar di nusantara merupakan fenomena baru dalam transformasi
pendidikan pada masa itu. Selain kerana
faktor internal dan eksternal bangsa Indonesia juga diupayakan agar madrasah
boleh menjadi penghubung wujudnya integrasi atau kesepaduan dua pola bentuk
pendidikan (dualisme) yang berlawanan (Hasbullah, 1995).
Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan madrasah awalnya diharapkan
mampu menciptakan pelajar-pelajar yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama
sekaligus ilmu-ilmu umum. Justeru itu, sistem madrasah yang pada awalnya
didesain sebagai konvergensi atau penggabungan kurikulum pendidikan pondok dan
sekolah umum yang sedikitnya hampir sama dengan kurikulum pesantren modern.
Namun, pengembangan program pengkhususan tertentu yang memisahkan ilmu fardhu
ain dan kifayah tanpa konsep yang jelas menyebabkan peranan madrasah dalam
mengurangkan terjadinya dikotomi ilmu dalam pendidikan islam semakin tidak
nampak. Di sisi lain, kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta
prestasi kebanyakan pelajarnya dalam bidang ilmu-ilmu agama masih tertinggal
jauh berbanding pelajar pondok dan begitu juga pelajar dari pendidikan umum.
Dalam pandangan Mahmud Yunus (1979), perbedaan
antara madrasah di satu sisi dan sekolah termasuk sekolah-sekolah umum
peninggalan penjajah Belanda di sisi lain setelah masa kemerdekaan, memperjelas
adanya dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dualisme institusi
pemerintah yang melakukan pembinaan pendidikan itu kemudian pada tataran teknis
memberi pengaruh pada dualisme penyelenggaraan pendidikan, baik yang berkaitan
dengan struktur kurikulum, penyediaan tenaga kependidikan (khususnya tenaga
guru), maupun menyangkut pembiayaan pendidikan. Di satu sisi, ada lembaga-lembaga pendidikan
agama, yaitutu pesantren, madrasah, dan IAIN/UIN (Institut Agama Islam Negeri)
dan di sisi lain ada sekolah mulai dari tingkat dasar hingga universitas.
Yang pertama berada di bawah struktur pengelolaan Departemen Agama (Depag) dan
yang terakhir berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Diknas).
Maksum (1999) melihat bahawa meskipun pada tahap
perkembangan selanjutnya antara kedua-dua lembaga kementerian ini terjadi
interaksi dan saling melengkapi, tapi nampaknya kecenderungan itu masih
dipengaruhi oleh kebijakan yang bersifat politik dan juga kerana adanya
perubahan paradigma sebagian umat Islam dalam memahami dan melihat kerangka
hubungan Islam dan negara. Terjadinya interaksi itu karena mendapat dorongan
dari dua arah. Pertama, dorongan dari pemerintah khususnya pada masa orde baru
yang mengeluarkan dan menetapkan beberapa aturan untuk mempersempit kesenjangan
antara keduanya yang mewajibkan madrasah untuk mengajarkan pengetahuan umum dan
pada masa yang sama mewajibkan sekolah umum untuk mengajarkan pengetahuan
agama. Kedua, dorongan dari pengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam
sendiri untuk memberikan pengetahuan umum modern sebagai mata pelajaran
tambahan. Ini sejalan dengan perubahan pandangan di kalangan Muslim yang mulai
menyadari betapa pentingnya pengetahuan umum bagi kehidupan ini. Interaksi dan
hubungan itu saling melengkapi dan mengalami perkembangan pesat pada abad
ke-20.
Hal ini sejalan dengan semakin besarnya
semangat untuk mentransformasikan lembaga-lembaga pendidikan Islam di kalangan
pemikir dan aktivis Muslim Indonesia, khususnya dari kalangan modernis. Sejak
pengelolaan madrasah berada di bawah naungan Departemen Agama, lembaga
pendidikan ini secara berkelanjutan mengalami modernisasi, baik dari segi kurikulum,
media pengajaran, tenaga pengajar, maupun fasilitas pendidikan pada umumnya.
Mata pelajaran umum yang diberikan pun semakin besar porsinya.
Madrasah mengalami perubahan yang cukup mendasar
saat lahir Kepres No 34 tahun 1972, kemudian diperkuat dengan Inpres No 15
tahun 1974, dan secara operasional tertuang dalam SKB menteri agama, menteri
P7K, dan menteri dalam negeri No 6 tahun 1975. Semua aturan itu menggariskan
bahwa madrasah di semua jenjang mempunyai posisi yang sama dengan sekolah umum.
Untuk itu kurikulum madrasah diharuskan memuat alokasi waktu 70 persen untuk
mata pelajaran umum dan 30 persen untuk pelajaran agama. Kemudian pada 1984
dikeluarkan SKB menteri agama dan menteri pendidikan tentang pengaturan
pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. Di situ antara lain
disinggung soal pengakuan kesetaraan mutu lulusan madrasah dengan sekolah umum.
Pemerintah mengakomodasi madrasah sebagai salah satu model pembelajaran di
Indonesia sekaligus mengakhiri ketidakpastian posisi madrasah dalam sistem
pendidikan nasional. Dalam tataran praksis, madrasah gagasan pemerintah ini
diproyeksikan sebagai sekolah umum berciri khas agama di mana kandungan ilmu
agama hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan kurikulum yang ada. Kebijakan
ini terkait realitas bahwa sistem pendidikan madrasah yang berkembang di
pesantren dengan capaian yang sangat spesifik dinilai tidak mampu memenuhi
semua kebutuhan dan tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Masuknya sistem madrasah yang digagas pemerintah
di samping sistem pendidikan pesantren yang sudah ada, merupakan langkah
menciptakan ragam pendidikan di Indonesia. Pemerintah menginginkan terjadi
proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sehingga Pemerintah
mempunyai legitimasi dalam pengintegrasian ilmu agama dan iptek yang selama ini
terkotak-kotak ke dalam ilmu umum. Tujuannya, out put yang dihasilkan
madrasah adalah pelajar yang religius sekaligus andal di bidang ekonomi riil,
teknologi, dan informasi. Secara tidak langsung, madrasah didesain sebagai
konvergensi kurikulum pendidikan pesantren dan sekolah model Barat. Namun jika
dilihat dari sudut aspek lain, adanya realitas semacam ini bukanlah bererti
secara otomatis sistem pendidikan di Indonesia dapat diintegrasikan, malah
eksistensi dan peran madrasah yang banyak menyumbang ke arah pencerdasan anak
bangsa dalam sejarah perkembangannya muncul di internal umat Islam sendiri
dengan dua corak yang saling tarik menarik akibat pola kebijakan pendidikan
pemerintah dualistik. Pertama, apakah madrasah tetap mempertahankan fungsinya
sebagai lembaga tradisional yang mendorong madrasah untuk tetap menjalankan
fungsi-fungsi tradisionalnya sebagai penjaga dan pemelihara tradisi-tradisi
Islam dan sebagai sumber reproduksi otoritas keislaman di lingkungan masyarakat
Muslim Indonesia, atau mengakomodir kepentingan pemerintah yang lebih bersifat
sentralistik (Maksum, 1999).
Begitu pula dalam perjalanannya hingga kini, di
tingkat implementasi ternyata telah menjadikan madrasah mengalami 'krisis
identitas. Segala produk peraturan Pemerintah telah mengaburkan karakter dasar
madrasah sekaligus tidak cukup untuk mengidentifikasi madrasah sebagai
institusi pendidikan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, cukup
sulit melahirkan peserta didik madrasah yang sesuai dengan idealisasi
Pemerintah. Jika ditelisik lagi, ketertinggalan madrasah lebih disebabkan
kegagalan pemerintah mengimplementasikan produk peraturannya sampai ke tingkat
budaya, sehingga peraturan tersebut tidak mempunyai pengikat integrasi secara
budaya. Selama ini pemerintah 'setengah hati' menindaklanjuti produk hukumnya.
Di samping itu pemerintah juga masih sukar menemukan formula ideal pembinaan
antara madrasah (di bawah naungan Departemen Agama) dan sekolah umum (di bawah
naungan Depdiknas).
Sedangkan di tingkat akar rumput, civitas madrasah
merasakan bahwa pemerintah telah cukup lama bersikap diskriminatif terhadap
madrasah. Departemen Agama sering kesulitan menyikapi keluhan masyarakat yang
di satu sisi masih menginginkan pembelajaran model madrasah, namun di sisi lain
dihadapkan pada kondisi madrasah yang memprihatinkan. Kata 'diskriminasi' yang
dipakai civitas madrasah, menurut penulis, salah satunya adalah dipicu oleh
alokasi anggaran yang tidak proporsional antara madrasah dan sekolah umum.
Realitasnya berbagai produk hukum terkait madrasah
belum sepenuhnya disepakati. Akibatnya, konsolidasi pemerintah dalam menyikapi
persoalan madrasah kurang proporsional dibanding penyikapannya terhadap
permasalahan sekolah umum. Sampai saat ini, perhatian pemerintah terhadap
madrasah masih sebatas di tingkat pusat, tidak di pemerintah provinsi dan
pemerintah daerah. Hal ini tidak terjadi pada sekolah umum yang mendapatkan
perhatian dari pemerintah di semua tingkatan. Akibatnya, alokasi dana untuk madrasah
jauh lebih kecil dibanding alokasi dana untuk sekolah umum. Seiring dengan
semangat reformasi, pemerintah dituntut keseriusannya untuk menghilangkan kesan
diskriminasi tersebut. Tanpa menafikan madrasah-madrasah unggulan yang sudah
muncul dewasa ini dengan semangat kemandiriannya, pemerintah perlu melakukan
aksi lebih besar lagi dalam mempercepat perbaikan kondisi madrasah -terutama
yang swasta.
Kebanyakan madrasah, terutama swasta, mengalami
kesukaraan dalam prasarana dan sarana, keterbatasan jumlah tenaga kependidikan
dan kemampuan yang kurang memadai dalam memberikan imbalan kepada tenaga
kependidikannya. Dari sini muncul kecenderungan pragmatisma dalam penugasan
guru mata pelajaran dan tenaga kependidikan lain. Banyak tenaga pendidikan yang
menjalankan tugas tidak sesuai dengan bidang keahlian dan pengalamannya di
dunia pendidikan. Akibatnya, mutu pendidikan madrasah makin tertinggal. Dalam
kondisi demikian, kesiapan dan kelayakan madrasah dalam meningkatkan mutu
pendidikan tampaknya patut dipertanyakan akibat adanya dikotomi diatas.
Abdul Rachman Shaleh (2005) menyatakan bahawa
pelaksanaan tugas pendidikan di Departemen Agama dianggap sebagai sumber
terjadinya dualisme pendidikan di Indonesia. Hal tersebut disedari sebagai
akibat politik pendidikan di masa penjajahan Belanda yang mendikotomikan antara
sistem pendidikan Barat yang bersifat umum dan sekular dengan pendidikan Agama
yang eksklusif dan bersifat ukhrawi. Perundang-undangan tentang sistem
pendidikan jelas memberi peluang terjadinya dualisme pendidikan. Pasal 10 ayat
(2) undang-undang No. 4 tahun 1954 menyatakan bahawa ”belajar di sekolah agama
yang mendapat pengakuan dari kementerian agama dianggap telah memenuhi
kewajiban belajar”. Demikian pula sebagaimana yang tertulis dalam substansi Undang-Undang
No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional dan peraturan
pelaksanaannya juga memberikan pengakuan dan keberadan madrasah dan pendidikan
keagamaan sebagai bagian dalam kesatuan sistem pendidikan nasional.
Kebijakan dan politik pendidikan nasional yang
dijalankan pada awal kemerdekan adalah melalui usaha dengan melanjutkan
persekolahan yang ada, walaupun sistem persekolahan tersebut dimaksudkan agar
memberi kesempatan belajar kepada semua golongan masyarakat tapi sistem
persekoahan tersebut belum berakar pada kebudayaan dan nilai-nilai luhur
bangsa. Hal ini dapat dilihat bahawa sistem pendidikan nasional di Indonesia
sejak awal mewarisi sistem pendidikan yang dilaksanakan pada zaman kolonial
dalam bentuknya sebagai sekolah umum. Demikian pula apabila kita meninjau
kembali terhadap perkembangan kelembagaan pendidikan islam, maka madrasah
merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga pendidikan umat islam
indonesia seperti dayah, surau, rangkang dan pondok pesantren yang telah tumbuh
sejak abad ke-13 .
Dengan demikian memang secara ideologis diciptakan
adanya dualisme pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan
pemerintah dan menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional dan
madrasah, pondok pesantren yang kurang mendapat perhatian dan menjadi tanggung
jawab departemen agama. Kondisi demikian pada akhirnya pemerintah terlibat
untuk menyelesaikan persoalan ini dengan mengembangkan beberapa madrasah
menjadi madrasah negeri. Alasannya ialah karena situasi dan kondisi sosio-kultural-politik
sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah
tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang
keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka
sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan
memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan
Departemen Agama merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian
halnya di waktu sekarang.
Dari sini dapat dikatakan bahwa kebijakan
pendidikan nasional Indonesia dewasa ini menunjukkan adanya kecendrungan untuk,
setidaknya untuk meminimalisir dampak
dan implikasi pemikiran dualisme terhadap sistem pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari upaya untuk melakukan
integrasi institusi pendidikan umum dan agama.
Segala konsekuensi yang dapat timbul dari hal tersebut, termasuk
mengenai keberlanjutan eksistensi dualisme dalam pemikiran dan praktek
pendidikan Indonesia di tengah-tengah upaya tersebut, masih menyediakan ruang
terbuka bagi perdebatan-perdebatan selanjutnya.
Paper ini telah dipresentasikan di Seminar Serumpun IV UKM-UNHAS di Universiti Kebangsaan Malaysia 4-5 Juli 2009.
Amin, Abdullah. 2003. Menyatukan kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum.
Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga
Al-Attas , Syed Muhammad Naquib. 1978. Islam and Secularism. Kuala
Lumpur: ABIM
Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Bowen, James. 1975. A History of Western Education. New York: St Martin’s Press.
Hashim, Rosnani. 1996. Educational dualism in Malaysia: Implication
for Theory and Practice. Oxford University Press
Maksum. 1999. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos
Mohammad Said, Ahmad. 1998. Dualisme
Pendidikan. KPM
Nordin, Tajul Ariffin.1993.
Pendidikan: Satu Pemikiran Semula.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Russel, Bertrand. 1961. History of Western Philosophy. London:
George Allen & Unwin Ltd.
Shaleh, Abdul Rachman. 2005.
Madrasah dan Pendidikann Anak Bangsa.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta:
LP3ES
The Columbia Encyclopedia (1963)
NY & London: Colombia University Press
Yunus, Mahmud. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Hidayakarya Agung
No comments:
Post a Comment