Kita sekarang berada di bulan
Rabi’ul Awwal, bulan dimana Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Karena itu juga
bulan ini sering disebut dengan bulan maulid atau maulud. Maulid Nabi Muhammad
SAW dalam khazanah tradisi Islam acapkali diperingati dengan beragam
ritual-religius. Peringatan dan ritualisme-religius tersebut di satu sisi
merupakan cerminan cinta sekaligus penghormatan kaum Muslimin kepada sosok
pribadi yang memesona, yakni Nabi dan Rasul terakhir dalam Islam, Muhammad SAW.
Di sisi lain, upaya mengingat
jejak dan kisah Nabi Muhammad SAW yang biasa diperingati setiap 12 Rabiul Awal
itu, seharusnya bukan sekadar menjalankan tradisi dan ritualisme sesaat semata.
Juga bukan kesempatan melantunkan kata pujian kepada Baginda Nabi, sebagaimana
tertulis dalam Diba’i, Barzanji yang demikian akrab dalam telinga umat Islam di
seantero nusantara.
Lebih dari itu semua, momentum Maulid Nabi kali ini seharusnya perlu dijadikan moment untuk refleksi, koreksi, intropeksi dan revitalisasi ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW bagi penguatan moral masyarakat Islam. Sebab untuk apa merayakan dan memperingati, jika realitas moral sosial ummat tidak mencerminkan spirit dan kontekstual sejarah maulid, malah berubah menjadi ajang pelestarian tradisi lokal yang penuh aroma mistis berbau klenik dan terkesan irrasional yang justru bertentangan dengan syara’ dan akidah.
Lebih dari itu semua, momentum Maulid Nabi kali ini seharusnya perlu dijadikan moment untuk refleksi, koreksi, intropeksi dan revitalisasi ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW bagi penguatan moral masyarakat Islam. Sebab untuk apa merayakan dan memperingati, jika realitas moral sosial ummat tidak mencerminkan spirit dan kontekstual sejarah maulid, malah berubah menjadi ajang pelestarian tradisi lokal yang penuh aroma mistis berbau klenik dan terkesan irrasional yang justru bertentangan dengan syara’ dan akidah.
Keteladanan Nabi Agung
Nabi Muhammad SAW. adalah utusan
Allah yang mengemban misi dan bertujuan untuk menyempurnakan akhlak dalam
kehidupan manusia. Konteks historisnya cukup jelas, karena pada saat Nabi
mendapat tugas sebagai Rasulullah, kondisi masyarakat tengah berada dalam
dekadensi moral yang amat parah.
Justeru itu, Rasulullah SAW
menyampaikan pesan ketuhanan dan kemanusiaan (tabligh) dengan selalu
mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan dilandasi oleh sikap yang dapat
dipercaya. Sekalipun masyarakat yang dihadapi heterogen dari sisi kultur dan
kepercayaan, Nabi tampil dengan penuh hikmah dan
berbicara dengan penuh kesantunan serta memiliki kesabaran yang luar biasa.
Hasilnya sangat spektakuler, karena mampu membawa masyarakat pada jamannya
kedalam tatanan kehidupan yang adil sebagai “Rahmatan lil alamin”.
Sehingga
tidak mengherankan jika Michael H Hart, dalam buku
fenomenalnya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History
(1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh
paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah
satu-satunya sosok yang berhasil meraih
keberhasilan luar biasa baik dalam hal agama maupun hal duniawi. Dia memimpin
bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang
bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.
Dalam konteks itu, keberhasilan
Rasulullah Muhammad SAW dalam mengantar umatnya meraih kejayaan kehidupan perlu
dijadikan rujukan utama. Sejarah menunjukkan, dalam waktu hanya sekitar dua
belas tahun, Nabi berhasil mengubah kehidupan sosial masyarakat Arab yang
primordial-sektarianistik dengan savage ethic-nya menjadi masyarakat
yang berlandaskan persaudaraan universal, dan bermoral. Dari masyarakat yang
amat membanggakan garis keturunan dan darah biru menjadi masyarakat yang
egalitarian.
Kenyataan sejarah menunjukkan
keberhasilan Nabi itu senyatanya tidak dapat dilepaskan dari keimanan
Rasulullah yang bersifat aksi. Agama diyakini sebagai sumber etika-moral yang
harus dilabuhkan ke dalam realitas. Kesaksiannya tentang monoteisme
(tauhid) mengantar Nabi kepada
penyikapan terhadap seluruh umat manusia sebagai makhluk Tuhan yang setara yang
harus diperlakukan berdasar nilai-nilai kesetaraan itu.
Dengan pola semacam itu pula
Rasulullah menyikapi dan melaksanakan ibadah-ritualistik. Ia melakukannya
sebagai proses dialog intens dengan sang Khalik untuk muhasabah dan
memperkaya spiritualitas, yang pada gilirannya diejawantahkan ke ruang publik
dalam bentuk pengembangan dan penguatan moralitas sosial yang luhur.
Nabi menjelaskan signifikansi
egalitarianisme, keadilan, dan nilai-nilai sejenis, serta pada saat sama ia
sendiri melaksanakan nilai-nilai itu, termasuk memberlakukannya terhadap diri
sendiri. Di atas nilai-nilai itu, umat Islam membangun peradaban, mengembangkan
sains dalam berbagai disiplin, dan teknologi yang berorientasi kepada kesejahteraan
kehidupan.
Refleksi Spiritual
Dalam kerangka diatas, terletak
signifikansi peringatan Maulid Rasulullah Muhammad SAW. yang sangat relevan
untuk diserap, diteladani dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita
perlu menjadikan peringatan maulid dan peringatan keagamaan lain sebagai wahana
reflektif untuk pengayaan spiritual, peningkatan kecerdasan emosional, dan
untuk memperbaiki diri secara berkelanjutan.
Dengan demikian, peringatan
Maulid Nabi dan sejenisnya tidak akan terjebak ke dalam acara seremonial yang
terus berulang tanpa berimplikasi pada terjadinya perubahan fundamental bagi
keberagamaan dan penguatan moral. Penting untuk kita renungkan adalah bagaimana
umat Islam dewasa ini bisa meneladani Nabinya dalam kehidupan. Atau pertanyaannya:
adakah karakter umat Muhammad sudah dimiliki oleh kita yang mengaku sebagai umatnya?
No comments:
Post a Comment