Select Language

Friday, January 25, 2013

Maulid sebagai Media Penguatan Moral



Kita sekarang berada di bulan Rabi’ul Awwal, bulan dimana Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Karena itu juga bulan ini sering disebut dengan bulan maulid atau maulud. Maulid Nabi Muhammad SAW dalam khazanah tradisi Islam acapkali diperingati dengan beragam ritual-religius. Peringatan dan ritualisme-religius tersebut di satu sisi merupakan cerminan cinta sekaligus penghormatan kaum Muslimin kepada sosok pribadi yang memesona, yakni Nabi dan Rasul terakhir dalam Islam, Muhammad SAW. 

Di sisi lain, upaya mengingat jejak dan kisah Nabi Muhammad SAW yang biasa diperingati setiap 12 Rabiul Awal itu, seharusnya bukan sekadar menjalankan tradisi dan ritualisme sesaat semata. Juga bukan kesempatan melantunkan kata pujian kepada Baginda Nabi, sebagaimana tertulis dalam Diba’i, Barzanji yang demikian akrab dalam telinga umat Islam di seantero nusantara.


Lebih dari itu semua, momentum Maulid Nabi kali ini seharusnya perlu dijadikan moment untuk refleksi, koreksi, intropeksi dan revitalisasi ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW bagi penguatan moral masyarakat Islam. Sebab untuk apa merayakan dan memperingati, jika realitas moral sosial ummat tidak mencerminkan spirit dan kontekstual sejarah maulid, malah berubah menjadi ajang pelestarian tradisi lokal yang penuh aroma mistis berbau klenik dan terkesan irrasional yang justru bertentangan dengan syara’ dan akidah.

Keteladanan Nabi Agung

Nabi Muhammad SAW. adalah utusan Allah yang mengemban misi dan bertujuan untuk menyempurnakan akhlak dalam kehidupan manusia. Konteks historisnya cukup jelas, karena pada saat Nabi mendapat tugas sebagai Rasulullah, kondisi masyarakat  tengah berada dalam dekadensi moral yang amat parah.
Justeru itu, Rasulullah SAW menyampaikan pesan ketuhanan dan kemanusiaan (tabligh) dengan selalu mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan dilandasi oleh sikap yang dapat dipercaya. Sekalipun masyarakat yang dihadapi heterogen dari sisi kultur dan kepercayaan, Nabi tampil dengan penuh hikmah dan berbicara dengan penuh kesantunan serta memiliki kesabaran yang luar biasa. Hasilnya sangat spektakuler, karena mampu membawa masyarakat pada jamannya kedalam tatanan kehidupan yang adil sebagai “Rahmatan lil alamin”. 

Sehingga tidak mengherankan jika Michael H Hart, dalam buku fenomenalnya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya sosok  yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal agama maupun hal duniawi. Dia memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.

Dalam konteks itu, keberhasilan Rasulullah Muhammad SAW dalam mengantar umatnya meraih kejayaan kehidupan perlu dijadikan rujukan utama. Sejarah menunjukkan, dalam waktu hanya sekitar dua belas tahun, Nabi berhasil mengubah kehidupan sosial masyarakat Arab yang primordial-sektarianistik dengan savage ethic-nya menjadi masyarakat yang berlandaskan persaudaraan universal, dan bermoral. Dari masyarakat yang amat membanggakan garis keturunan dan darah biru menjadi masyarakat yang egalitarian. 

Kenyataan sejarah menunjukkan keberhasilan Nabi itu senyatanya tidak dapat dilepaskan dari keimanan Rasulullah yang bersifat aksi. Agama diyakini sebagai sumber etika-moral yang harus dilabuhkan ke dalam realitas. Kesaksiannya tentang monoteisme (tauhid)  mengantar Nabi kepada penyikapan terhadap seluruh umat manusia sebagai makhluk Tuhan yang setara yang harus diperlakukan berdasar nilai-nilai kesetaraan itu.

Dengan pola semacam itu pula Rasulullah menyikapi dan melaksanakan ibadah-ritualistik. Ia melakukannya sebagai proses dialog intens dengan sang Khalik untuk muhasabah dan memperkaya spiritualitas, yang pada gilirannya diejawantahkan ke ruang publik dalam bentuk pengembangan dan penguatan moralitas sosial yang luhur.

Nabi menjelaskan signifikansi egalitarianisme, keadilan, dan nilai-nilai sejenis, serta pada saat sama ia sendiri melaksanakan nilai-nilai itu, termasuk memberlakukannya terhadap diri sendiri. Di atas nilai-nilai itu, umat Islam membangun peradaban, mengembangkan sains dalam berbagai disiplin, dan teknologi yang berorientasi kepada kesejahteraan kehidupan.

Refleksi Spiritual

Dalam kerangka diatas, terletak signifikansi peringatan Maulid Rasulullah Muhammad SAW. yang sangat relevan untuk diserap, diteladani dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu menjadikan peringatan maulid dan peringatan keagamaan lain sebagai wahana reflektif untuk pengayaan spiritual, peningkatan kecerdasan emosional, dan untuk memperbaiki diri secara berkelanjutan. 

Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi dan sejenisnya tidak akan terjebak ke dalam acara seremonial yang terus berulang tanpa berimplikasi pada terjadinya perubahan fundamental bagi keberagamaan dan penguatan moral. Penting untuk kita renungkan adalah bagaimana umat Islam dewasa ini bisa meneladani Nabinya dalam kehidupan. Atau pertanyaannya: adakah karakter umat Muhammad sudah dimiliki oleh kita yang mengaku sebagai umatnya?

Anda sedang membaca artikel tentang Maulid sebagai Media Penguatan Moral dan anda bisa menemukan artikel Maulid sebagai Media Penguatan Moral ini dengan url http://hasyimustamin.blogspot.com/2013/01/maulid-sebagai-media-penguatan-moral.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Maulid sebagai Media Penguatan Moral ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Maulid sebagai Media Penguatan Moral sumbernya.

No comments: