Nama
Zainuddin Maidin, mendadak terkenal di Indonesia setelah melabeli mantan
Presiden BJ. Habibie sebagai “the dog of imperialism”. Maidin yang dikenal dengan sebutan Tan Sri
Zam ini juga menggambarkan Habibie
sebagai sosok egois, memualkan, dan pengkhianat bangsa Indonesia. Ungkapannya itu
dimuat di media utama milik kerajaan Malaysia dalam rubrik rencana (editorial)
koran Utusan Malaysia (10/12/2012). Artikel tersebut tidak hanya menambah
deretan isu yang dapat mengeruhkan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia,
tetapi juga sebenarnya merupakan bentuk fobia berlebihan yang ditampilkan oleh
mantan Menteri Penerangan Malaysia tersebut.
Ketakutannya tercermin dari pokok pemikirannya
yang mengulas isu secara serampangan dan menghubungkan kedatangan Habibie ke
Selangor dengan kegiatan reformasi yang dimotori ketua partai pembangkang (oposisi),
Anwar Ibrahim di Malaysia. Habibie yang dikenal sebagai pembuka kran demokrasi
dan kebebasan pers di Indonesia, ternyata kedatangannya dilihat menimbulkan
provokasi yang bisa semakin memperkokoh kedudukan Anwar dalam melaungkan
demokrasi di Malaysia.
Keadaan fobia yang dinamai histeria ansietas
oleh Frued dianggap sebagai pertahanan terhadap situasi yang dihadapi
penderitanya. Kemunculannya bisa wujud dalam dimensi psikologis, politis dan
sosial dengan ciri-ciri seperti: cemas, bimbang, takut, berfikir negatif dan
ragu serta mencurigai orang lain dalam setiap interaksi di luar kelompok
kepentingannya. Makanya, fobia yang muncul bisa dibilang cerminan mental dari kualitas
akal dan fikiran seorang individu. Akal
dan fikiran inilah yang menentukan corak berfikir. Begitupun, santun tidaknya ekspresi
komunikasi yang digunakan ketika berbicara dan bersikap, tergantung akal dan
fikirannya. Pendeknya, akal dan fikiran sangat besar pengaruhnya terhadap
pembentukan sikap, keperibadian dan tingkah laku manusia.
Ainon Mohd. dengan gelaran De Bono Malaysia, merupakan
jurulatih bidang berfikir dan kreativitas pernah menulis bahwa, salah
satu kesilapan berfikir yang selalu kita buat ialah berfikir prejudis atau
prasangka terhadap orang lain. Baik dan buruknya prasangka terbentuk dari
bagaimana penilaian kita terhadap orang lain; bagaimana kita mengelompokkannya
(kawan atau lawan); dan bagaimana kita turut mempopulerkan atau
mensosialisasikannya.
Prasangka buruk tanpa mengenal
hakikat sesuatu secara benar muncul dari nafsu atau jiwa yang tercela (nafs
al-ammarah). Jiwa ini bersifat kotor dan buruk yang diwataki oleh
emosi yang tidak terkawal dan pikiran yang tidak rasional. Jenis nafsu ini suka
mengadu domba, hasad dan dengki, khianat, angkuh, sombong, takabur, cemburu, emosional,
suka kalau orang bertengkar dan mudah menuding yang bukan-bukan (fitnah). Jenis
nafsu ini pada dasarnya mudah kalap, mengidap penyakit fobia dan suka
menonjolkan diri untuk mencari perhatian.
Sedangkan prasangka baik
bersumber dari nafs al-mutmainnah. Cerminan jiwa ini lebih tenang, suka
memaafkan berbanding marah, bersabar atas hinaan, dan menganggap cercaan
sebagai cobaan. Setiap peristiwa yang dihadapi tidak mudah terguncang atau bertindak
secara reaktif mengikut kehendak hawa nafsu. Oleh karena itu, jenis manusia
model ini berada dalam kebaikan dan stabil (QS. 89: 27-28). Berada dalam di
peringkat emosi yang tenang dan matang, dapat berfikir dengan rasional, tidak
mementingkan diri sendiri dan senantiasa menjaga hubungan baik dengan sesama
manusia, alam dan Tuhannya.
Tipikal individu jenis inilah
yang kerap akan mencapai taraf kebijaksanaan (hikmah). Naquib Al-Attas, ilmuan dan sarjana terkemuka
Malaysia yang lahir di Bogor, pernah menyatakan dalam kuliahnya, hikmah atau kebijaksanaan
adalah ilmu tertinggi. Hikmah adalah cerminan ketinggian ilmu
yang dimiliki seseorang. Hikmah tidak dapat diraih tanpa ilmu dan pemahaman
yang benar terhadap segala sesuatu.
Agar fobia dan prasangka nafsu yang buruk tidak
berlarutan, harus dicegah dengan mengajarkan keyakinan (percaya diri) dan
kebaikan. Keyakinan hanya dapat diraih dengan ilmu dan kebenaran. Untuk
mendapatkan ilmu harus melalui proses pengenalan dan pencarian pengetahuan
secara intim dan berterusan agar dapat membuahkan keyakinan dalam memahami
segala sesuatu secara nyata dan benar. Mengenali sesuatu tidak boleh secara
sekilas saja, karena bisa mengakibatkan ketidakadilan, yaitu tidak dapat
menempatkan sesuatu pada tempat yang sewajarnya. Begitupun, tidak mungkin dapat
mengenal kebaikan dan keburukan seseorang secara baik dan benar tanpa keintiman
mendalam dalam persahabatan. Makanya, persepsi dan penilaian positif dan
negatif seorang individu terhadap orang lain apalagi mereka yang memiliki
pengaruh, akan sangat besar implikasinya baik dalam lingkup individu dan
sosial. Baik buruknya menyikapi atau merespon keadaan sangat bergantung tahap
kebijaksanaannya.
Tan Sri Zama sepertinya tidak menyadari bahwa
apa yang ditulisnya akan menjadi konsumsi publik. Pandangannya akan
berimplikasi terhadap hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia, dan persaudaraan
dua negara serumpun yang akrab berdasarkan sudut asas budaya dan juga agama
yang sama. Mungkin jika di Barat, orang mengeluarkan kata-kata cercaan dan
hinaan merupakan fenomena biasa karena mereka mengamalkan kebebasan
berpendapat. Tapi tidak bagi kita di
Timur. Kebebasan bukan berarti tiada batasnya, tapi kebebasan berpendapat bermakna
membebaskan diri daripada persoalan-persoalan yang mengarah kepada
ketidakharmonisan hubungan individu, masyarakat dan negara. Bukan kebebasan
yang menganjurkan keburukan yang memprovokasi keadaan. Kebebasan adalah mengembalikan
diri kepada kebaikan, yaitu saling nasehat menasehati perihal kebaikan dan
kesabaran.
Sebenarnya, kesantunan bahasa mencerminkan
integritas dan keutuhan internal pribadi seorang individu. Benar kata Habibie,
jika orang menghina kita, anggap saja sebagai pujian karena mereka berjam-jam
memikirkan kita, sedangkan kita tidak pernah sedetikpun memikirkannya.
Kebesaran dan keharuman nama Habibie di Indonesia dan persada internasional
jelas tidak terekam secara benar dalam diri Zainuddin Maidin. Meskipun
kelihatannya dia telah mulai “berjinak-jinak” mencari tahu tentang Habibie,
namun spekulasinya terlalu tinggi dan memberi kesimpulan yang kurang bijak dan
salah.
Seyogianya, tulisan Maidin yang ditujukan
kepada Habibie tidak perlu dibahasakannya secara kasar yang tidak mencerminkan
reputasi sesungguhnya sebagai seorang mantan Menteri. Kitapun juga tidak perlu
meresponnya dengan amarah yang luar biasa. Karena pada dasarnya, apa yang
diungkapkannya itu juga membuktikan dia termakan oleh hasutan fobianya sendiri
yang mengasumsikan martabat dirinya tidak jauh-jauh dari apa yang ditulisnya. Dalam
hal ini, kita bisa sama-sama menimbang antara mana yang benar-benar negarawan
dengan negarawan karbitan dan tiruan.
artikel ini pernah dimuat di kolom opini koran harian Fajar, 18 Desember 2012.
artikel ini pernah dimuat di kolom opini koran harian Fajar, 18 Desember 2012.
No comments:
Post a Comment