Select Language

Wednesday, December 19, 2012

Menimbang Kebijaksanaan Habibie & Zainuddin Maidin



Nama Zainuddin Maidin, mendadak terkenal di Indonesia setelah melabeli mantan Presiden BJ. Habibie sebagai “the dog of imperialism”.  Maidin yang dikenal dengan sebutan Tan Sri Zam  ini juga menggambarkan Habibie sebagai sosok egois, memualkan, dan  pengkhianat bangsa Indonesia. Ungkapannya itu dimuat di media utama milik kerajaan Malaysia dalam rubrik rencana (editorial) koran Utusan Malaysia (10/12/2012). Artikel tersebut tidak hanya menambah deretan isu yang dapat mengeruhkan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga sebenarnya merupakan bentuk fobia berlebihan yang ditampilkan oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia tersebut.

Ketakutannya tercermin dari pokok pemikirannya yang mengulas isu secara serampangan dan menghubungkan kedatangan Habibie ke Selangor dengan kegiatan reformasi yang dimotori ketua partai pembangkang (oposisi), Anwar Ibrahim di Malaysia. Habibie yang dikenal sebagai pembuka kran demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia, ternyata kedatangannya dilihat menimbulkan provokasi yang bisa semakin memperkokoh kedudukan Anwar dalam melaungkan demokrasi di Malaysia.

Keadaan fobia yang dinamai histeria ansietas oleh Frued dianggap sebagai pertahanan terhadap situasi yang dihadapi penderitanya. Kemunculannya bisa wujud dalam dimensi psikologis, politis dan sosial dengan ciri-ciri seperti: cemas, bimbang, takut, berfikir negatif dan ragu serta mencurigai orang lain dalam setiap interaksi di luar kelompok kepentingannya. Makanya, fobia yang muncul bisa dibilang cerminan mental dari kualitas akal dan fikiran seorang individu.  Akal dan fikiran inilah yang menentukan corak berfikir. Begitupun, santun tidaknya ekspresi komunikasi yang digunakan ketika berbicara dan bersikap, tergantung akal dan fikirannya. Pendeknya, akal dan fikiran sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sikap, keperibadian dan tingkah laku manusia.

Ainon Mohd. dengan gelaran De Bono Malaysia, merupakan jurulatih bidang berfikir dan kreativitas pernah menulis bahwa, salah satu kesilapan berfikir yang selalu kita buat ialah berfikir prejudis atau prasangka terhadap orang lain. Baik dan buruknya prasangka terbentuk dari bagaimana penilaian kita terhadap orang lain; bagaimana kita mengelompokkannya (kawan atau lawan); dan bagaimana kita turut mempopulerkan atau mensosialisasikannya.

Prasangka buruk tanpa mengenal hakikat sesuatu secara benar muncul dari nafsu atau jiwa yang tercela (nafs al-ammarah). Jiwa ini bersifat kotor dan buruk yang diwataki oleh emosi yang tidak terkawal dan pikiran yang tidak rasional. Jenis nafsu ini suka mengadu domba, hasad dan dengki, khianat, angkuh, sombong, takabur, cemburu, emosional, suka kalau orang bertengkar dan mudah menuding yang bukan-bukan (fitnah). Jenis nafsu ini pada dasarnya mudah kalap, mengidap penyakit fobia dan suka menonjolkan diri untuk mencari perhatian.

Sedangkan prasangka baik bersumber dari nafs al-mutmainnah. Cerminan jiwa ini lebih tenang, suka memaafkan berbanding marah, bersabar atas hinaan, dan menganggap cercaan sebagai cobaan. Setiap peristiwa yang dihadapi tidak mudah terguncang atau bertindak secara reaktif mengikut kehendak hawa nafsu. Oleh karena itu, jenis manusia model ini berada dalam kebaikan dan stabil (QS. 89: 27-28). Berada dalam di peringkat emosi yang tenang dan matang, dapat berfikir dengan rasional, tidak mementingkan diri sendiri dan senantiasa menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, alam dan Tuhannya.

Tipikal individu jenis inilah yang kerap akan mencapai taraf kebijaksanaan (hikmah). Naquib Al-Attas, ilmuan dan sarjana terkemuka Malaysia yang lahir di Bogor, pernah menyatakan dalam kuliahnya, hikmah atau kebijaksanaan adalah ilmu tertinggi. Hikmah adalah cerminan ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang. Hikmah tidak dapat diraih tanpa ilmu dan pemahaman yang benar terhadap segala sesuatu.

Agar fobia dan prasangka nafsu yang buruk tidak berlarutan, harus dicegah dengan mengajarkan keyakinan (percaya diri) dan kebaikan. Keyakinan hanya dapat diraih dengan ilmu dan kebenaran. Untuk mendapatkan ilmu harus melalui proses pengenalan dan pencarian pengetahuan secara intim dan berterusan agar dapat membuahkan keyakinan dalam memahami segala sesuatu secara nyata dan benar. Mengenali sesuatu tidak boleh secara sekilas saja, karena bisa mengakibatkan ketidakadilan, yaitu tidak dapat menempatkan sesuatu pada tempat yang sewajarnya. Begitupun, tidak mungkin dapat mengenal kebaikan dan keburukan seseorang secara baik dan benar tanpa keintiman mendalam dalam persahabatan. Makanya, persepsi dan penilaian positif dan negatif seorang individu terhadap orang lain apalagi mereka yang memiliki pengaruh, akan sangat besar implikasinya baik dalam lingkup individu dan sosial. Baik buruknya menyikapi atau merespon keadaan sangat bergantung tahap kebijaksanaannya.

Tan Sri Zama sepertinya tidak menyadari bahwa apa yang ditulisnya akan menjadi konsumsi publik. Pandangannya akan berimplikasi terhadap hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia, dan persaudaraan dua negara serumpun yang akrab berdasarkan sudut asas budaya dan juga agama yang sama. Mungkin jika di Barat, orang mengeluarkan kata-kata cercaan dan hinaan merupakan fenomena biasa karena mereka mengamalkan kebebasan berpendapat.  Tapi tidak bagi kita di Timur. Kebebasan bukan berarti tiada batasnya, tapi kebebasan berpendapat bermakna membebaskan diri daripada persoalan-persoalan yang mengarah kepada ketidakharmonisan hubungan individu, masyarakat dan negara. Bukan kebebasan yang menganjurkan keburukan yang memprovokasi keadaan. Kebebasan adalah mengembalikan diri kepada kebaikan, yaitu saling nasehat menasehati perihal kebaikan dan kesabaran. 

Sebenarnya, kesantunan bahasa mencerminkan integritas dan keutuhan internal pribadi seorang individu. Benar kata Habibie, jika orang menghina kita, anggap saja sebagai pujian karena mereka berjam-jam memikirkan kita, sedangkan kita tidak pernah sedetikpun memikirkannya. Kebesaran dan keharuman nama Habibie di Indonesia dan persada internasional jelas tidak terekam secara benar dalam diri Zainuddin Maidin. Meskipun kelihatannya dia telah mulai “berjinak-jinak” mencari tahu tentang Habibie, namun spekulasinya terlalu tinggi dan memberi kesimpulan yang kurang bijak dan salah.

Seyogianya, tulisan Maidin yang ditujukan kepada Habibie tidak perlu dibahasakannya secara kasar yang tidak mencerminkan reputasi sesungguhnya sebagai seorang mantan Menteri. Kitapun juga tidak perlu meresponnya dengan amarah yang luar biasa. Karena pada dasarnya, apa yang diungkapkannya itu juga membuktikan dia termakan oleh hasutan fobianya sendiri yang mengasumsikan martabat dirinya tidak jauh-jauh dari apa yang ditulisnya. Dalam hal ini, kita bisa sama-sama menimbang antara mana yang benar-benar negarawan dengan negarawan karbitan dan tiruan.

artikel ini pernah dimuat di kolom opini koran harian Fajar, 18 Desember 2012.

Anda sedang membaca artikel tentang Menimbang Kebijaksanaan Habibie & Zainuddin Maidin dan anda bisa menemukan artikel Menimbang Kebijaksanaan Habibie & Zainuddin Maidin ini dengan url http://hasyimustamin.blogspot.com/2012/12/menakar-zainuddin-maidin-dalam-tulisan.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Menimbang Kebijaksanaan Habibie & Zainuddin Maidin ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Menimbang Kebijaksanaan Habibie & Zainuddin Maidin sumbernya.

No comments: