Ujian
Nasional (Unas) yang sudah mulai dilaksanakan pada tahun ini lebih
dipercepat jadwal pelaksanaannya jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hal itu ditempuh karena unas kali ini mengenal
dua kebijakan, yakni ujian utama dan ujian ulangan. Bagi siswa yang
tidak lulus di ujian utama, bisa mengikuti ujian ulangan.
Menurut
Departemen Pendidikan Nasional, penyelenggaraan unas ulangan baru mulai
diberlakukan pada tahun 2010. Kebijakan ini memberikan kesempatan yang
luas kepada sekolah dan siswanya agar bisa mencapai tahap kelulusan yang
maksimal. Dalam konteks individu dan masyarakat, unas ulangan bisa
menjadi “jalan selamat” bagi siswa yang gagal di ujian utama sekaligus
menjadi penawar bagi meredam isu penolakan terhadap unas seperti yang
pernah marak sebelumnya.
Langkah
ini mungkin untuk jangka pendek bisa menjadi salah satu solusi untuk
menekan angka ketidaklulusan siswa. Mendistorsi gangguan psikologis di
sebagian anggota kelompok masyarakat terhadap munculnya problem-problem
seperti stres, perilaku curang, siswa yang tidak jujur alias ngerpek ketika ujian. Namun jika kebijakan ini untuk jangka panjang, masih akan menimbulkan berbagai persoalan.
Tantangan Unas Ulangan
Walau
bagaimanapun, kebijakan dua kali ujian seperti ini konsekuensinya
adalah akan menyita waktu,tenaga dan bertambahnya anggaran
pelaksanaannya. Belum lagi persoalan persediaan perangkat materi soal
ujian, apakah disamakan atau dibedakan antara unas utama dan unas
ulangan. Hal ini juga masih menimbulkan tanda tanya. Begitu pula dengan
nilai dan status ijazah yang diperolehi oleh siswa kelak.
Jika
seandainya soal ujianya disamakan, bisa saja siswa yang sudah mengikuti
unas utama tapi tidak lulus, memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan siswa yang lulus di unas utama. Ini karena soal ujian sudah
bocor sebelumnya, sehingga mempermudah siswa yang sudah gagal untuk
menjawab lembar soal ujian di unas ulangan.
Dengan kata lain, jika
materi soal ujian di unas utama juga digunakan di unas ulangan, lantas
apa bedanya dengan kasus yang diistilahkan oleh Prof. Dr. Ki Supriyoko
sebagai kecurangan bersifat insidental dan sistematis yang pernah
terjadi sebelumnya. Yaitu siswa yang membawa catatan, guru atau sekolah
yang membantu siswanya memberikan jawaban ketika ujian. Tidakkah ini
akan memberi kesan bahwa penggunaan soal ujian yang sama dalam dua
kategori unas yang berbeda melegalkan “kecurangan yang lebih
terstruktur” dengan stempel
unas ulangan?
Tapi
jika seumpama kandungan materi soal ujiannya berbeda berarti perlu
disiapkan materi soal ujian yang lain pasca unas utama. Fenomena ini
juga akan menjadi dilema tersendiri bagi siswa, khawatir unas ulangan
lebih sukar berbanding sebelumnya. Ibaratnya sudah jatuh ketiban tangga
pula.
Persoalan
ini bisa saja muncul karena siswa yang mengikuti unas dalam dua tempoh
yang berlainan akan dipengaruhi oleh faktor-fakor psikologis yang
berlainan, seperti emosi, tempat ujian, suasana lingkungan, kesehatan
dan sebagainya. Perbedaan faktor-faktor ini bisa mempengaruhi siswa
memberi jawaban yang berlainan di dalam kedua situasi tahap unas yang
diikuti.
Secara
tidak langsung persoalan ini juga akan memberi implikasi terhadap nilai
dan keabsahan ijazah yang akan dimiliki kelak oleh siswa keluaran
produk unas utama dan unas ulangan. Hal demikian terjadi karena kedua
proses unas ini berbeda dari sudut peringkat kategori dan
pelaksanaannya. Siswa yang lulus di unas utama bisa saja merasa lebih
superior dibandingkan dengan siswa yang lulus di unas ulangan.
Sikap Proporsional
Unas
harus direspon secara tenang dan bijaksana oleh seluruh elemen yang
terlibat dalam praktek pendidikan di lapangan, dan perlu disikapi secara
proporsional oleh siswa. Artinya, tidak perlu terlalu khawatir untuk
tidak lulus, tapi tidak boleh juga terlalu diremehkan. Adanya
unas ulangan tidak boleh lantas siswa menjadi terlalu optimis lulus
sehingga meremehkan ujian. Tidak mempersiapkan diri secara maksimal,
tidak khawatir untuk tidak lulus karena walaupun gagal di unas utama,
toh akhirnya bisa mengulang.
Padahal
ketika mengulang, substansi “nilai” yang terkandung dalam kelulusannya
sudah berbeda jikalau lulusnya di unas utama. Meski perolehan nilai dan
status yang tertera di ijazahnya masing-masing mungkin sama. Justru itu,
diharapkan semua siswa yang ikut ujian bisa lulus di unas utama.
Andaikata memang ada yang harus mengulang, adanya kebijakan unas ulangan
ini tidak memberi kesan kelulusannya yang dipaksakan.
Unas
ulangan bukan media untuk memaksakan kelulusan bagi yang memang tidak
layak untuk lulus. Artinya, jika di unas ulangan ini nantinya memantik
pelbagai reaksi karena banyak siswa yang tidak lulus, tentunya juga
harus difahami dan disikapi secara bijak oleh seluruh masyarakat. Boleh
jadi, karena memang ada problem kesalahan individu dan keluarga yang
kurang memberikan penekanan tehadap fungsi dan tanggung jawabnya dalam
pendidikan.
Memang,
jika dicermati masih banyak persoalan dan problem di seputar
pelaksanaan pendidikan nasional kita. Seperti profesionalisme guru,
sarana dan fasilitas pendidikan di beberapa wilayah yang masih belum
optimal dan memadai. Justeru itu, disamping pemerintah diberikan
kesempatan untuk membuat perbaikan-perbaikan dan peningkatan mutu di
setiap aspek pelaksanaan dan fasilitas pendidikan, perlu dibarengi oleh
tanggung jawab bersama menghidupkan suasana kondusif belajar di
masyarakat.
Justru
itu pelaksanaan unas perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari
kalangan pemerintah, praktisi pendidikan maupun orang tua siswa. Hal ini
karena sistem unas yang pernah dilaksanakan sebelumnya masih menyisakan
persoalan dan pekerjaan rumah (PR) yang harus segera dituntaskan.
No comments:
Post a Comment