“Melayu
dan Bugis” apabila merujuk kepada istilah sukubangsa di kawasan Kepulauan Melayu Nusantara merupakan dua gabungan etnik suku yang
memiliki latar belakang sejarah interaksi ekonomi dan perdagangan yang
telah terjalin sejak beberapa abad sebelum dan sesudah ditaklukkannya
kerajaan Melayu Melaka oleh Portugis pada tahun 1511 M.
Fenomena
adanya hubungan kedua etnik ini sangat jelas menemukan pembenarannya jika
melihat ke dalam konteks hubungan tradisi, politik dan perdagangan
kerajaan-kerajaan timur nusantara (sulawesi/makassar) dengan
kerajaan-kerajaan di kawasan barat Nusantara, khususnya di Tanah Semenanjung Melayu.
Realitas sejarah ini nampak semakin jelas iaitu sejak dilibatkannya
armada laut Bugis yang berasal dari Luwu’ tana ugi’ Sulawesi selatan membantu keturunan kesultanan Melayu
(Bendahara) untuk memperebutkan kembali hak kuasa pemerintahan kerajaan
Lingga-Riau-Johor yang mengalami invasi dan pergulatan politik pada awal
abad ke 18.
Penetrasi Politik & Sumpah Setia
Keikutsertaan
orang bugis dalam percaturan politik di semenanjung Tanah Melayu yang
diprakarsai 5 orang bersaudara anak berturunan raja bugis iaitu: Daeng
Marewa, Daeng Cella’, Daeng Parani, Daeng Manambung dan Daeng Kamase dan
beberapa keturunannya, memang tidak dapat dikesampingkan perannya pada
masa lalu yang turut serta meletak dan mengawal kestabilan wilayah
politik kesultanan Melayu baik secara internal maupun eksternal.
Disamping itu itu keakraban pertalian Melayu dan Bugis semakin kentara
dan mencapai kemuncaknya dengan kemunculan “Sumpah Setia Melayu dan
Bugis” pada tahun 1130 Hijrah, yang membawa bangsawan Bugis diberi
penganugerahan jabatan Yang Dipertuan Muda secara turun temurun.
Ikatan
sumpah setia ini mempererat persaudaraan antara keduanya, sehingga
dengan terjadinya ikatan perkawinan antara dua etnik dari kerabat
kesultanan Melayu dan Bugis, semakin mengukuhkan bahwa antara Melayu dan
Bugis bagaikan mata hitam dan mata putih yang tak boleh bercerai dan
tidak boleh dipisahkan.
Perpaduan inilah yang turut memberi warna baru
dalam perkembangan sejarah dan ikatan genealogis Melayu-Bugis dalam
kerajaan Lingga-Riau, Kalimantan Barat, Johor, Selangor, pahang dan
Kedah pada fase berikutnya. Peristiwa ini memperkukuhkan eksistensi dan
merupakan pencapaian prestasi tertinggi yang dicapai orang Bugis di
tanah perantauan kawasan nusantara.
Solidaritas Siri' & Pesse
Sepanjang sejarah sosiokultural orang
Bugis, budaya mengembara dan merantau nampaknya merupakan salah satu
ciri khas yang dimiliki mereka hingga hari ini. Inilah barangkali yang
menjadikan orang Bugis banyak tersebar di hampir seluruh kawasan
nusantara. Daya
adaptasi terhadap keadaan dan situasi yang dihadapi sangat mengagumkan,
sehingga modal inilah yang memudahkan mereka untuk dapat diterima dan
boleh ikut berkiprah di berbagai wilayah.
Kekuatan tradisi
dan nilai-nilai budaya merupakan mental dan norma mendasar yang
senantiasa dipegang dimanapun meraka berada. Secara umum orang bugis
adalah orang yang memiliki semangat tinggi dan pemberani, tidak bisa
menerima perlakuan yang sewenang-wenang, mampu menjalankan kegiatan
paling berbahaya sekalipun. Sekali terikat dengan perjanjian dia pasti
akan memenuhinya, dan orang bugis dikenal
tak pernah mengingkari perjanjian yang dibuatnya.
Dalam kehidupan orang bugis, siri’ merupakan
unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang
paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain
daripada siri’. Bagi orang bugis, siri’ adalah jiwa
mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu, untuk
menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh
orang lain, maka orang bugis akan bersedia mengorbankan apa saja,
termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka.
Dengan demikian siri’ bukan
semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara spontan. Siri’ lebih
sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas
sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial
dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat bugis. Selain
daripada siri’, pesse’ atau lengkapnya pesse’ babua,
yang bererti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri,
mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga,
kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial dimana mereka berada.
Hal
ini melambangkan bahwa solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah
dipermalukan, namun bagi juga siapa saja dalam kelompok sosial yang
sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau
menderita sakit keras. Pesse’ bersama merupakan pengikat para anggota kelompok sosial, hal ini tentu juga berlaku untuk kelompok etnis.
Jadi rasa saling pesse’ antar anggota sebuah kelompok sosial adalah kekuatan pemersatu yang penting. Misalnya pesse’ diantara
orang-orang yang sedang mengalami penderitaan dalam peperangan atau
perantauan, sehingga mereka siap saling membantu kapan saja diperlukan.
Perjanjian antara dua orang menjadi sesama saudara, begitu pula
kesadaran sebagai anggota sebuah kelompok yang sama, dengan
demikian membawa pula tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan, agar
tidak kehilangan kehormatan. Antara siri’ dan pesse’
harus tetap ada keseimbangan agar saling menetralisir titik ekstrem
masing masing. Inilah barangkali menjadi fondasi yang kuat bagi mereka
untuk lebih tetap bisa lebih eksis dan survive dimana-mana.
No comments:
Post a Comment