Select Language

Tuesday, December 18, 2012

Asas Relasi & Solidaritas Orang Bugis di Tanah Melayu

“Melayu dan Bugis” apabila merujuk kepada istilah sukubangsa di kawasan Kepulauan Melayu Nusantara merupakan dua gabungan etnik suku yang memiliki latar belakang sejarah interaksi ekonomi dan perdagangan yang telah terjalin sejak beberapa abad sebelum dan sesudah ditaklukkannya kerajaan Melayu Melaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. 

Fenomena adanya hubungan kedua etnik ini sangat jelas menemukan pembenarannya jika  melihat ke dalam konteks hubungan tradisi, politik dan perdagangan kerajaan-kerajaan timur nusantara (sulawesi/makassar) dengan kerajaan-kerajaan di kawasan barat Nusantara, khususnya di Tanah Semenanjung Melayu.

Realitas sejarah ini nampak semakin jelas iaitu sejak dilibatkannya armada laut Bugis yang berasal dari Luwu’ tana ugi’ Sulawesi selatan membantu keturunan kesultanan Melayu (Bendahara) untuk memperebutkan kembali hak kuasa pemerintahan kerajaan Lingga-Riau-Johor yang mengalami invasi dan pergulatan politik pada awal abad ke 18. 


Penetrasi Politik & Sumpah Setia
 
Keikutsertaan orang bugis dalam percaturan politik di semenanjung Tanah Melayu yang diprakarsai 5 orang bersaudara anak berturunan raja bugis iaitu: Daeng Marewa, Daeng Cella’, Daeng Parani, Daeng Manambung dan Daeng Kamase dan beberapa keturunannya, memang tidak dapat dikesampingkan perannya pada masa lalu yang turut serta meletak dan mengawal kestabilan wilayah politik kesultanan Melayu baik secara internal maupun eksternal. 

Disamping itu itu keakraban pertalian Melayu dan Bugis semakin kentara dan mencapai kemuncaknya dengan kemunculan “Sumpah Setia Melayu dan Bugis” pada tahun 1130 Hijrah, yang membawa bangsawan Bugis diberi penganugerahan jabatan Yang Dipertuan Muda secara turun temurun.  

Ikatan sumpah setia ini mempererat persaudaraan antara keduanya, sehingga dengan terjadinya ikatan perkawinan antara dua etnik dari kerabat kesultanan Melayu dan Bugis, semakin mengukuhkan bahwa antara Melayu dan Bugis bagaikan mata hitam dan mata putih yang tak boleh bercerai dan tidak boleh dipisahkan.

Perpaduan inilah yang turut memberi warna baru dalam perkembangan sejarah dan ikatan genealogis Melayu-Bugis dalam kerajaan Lingga-Riau, Kalimantan Barat, Johor, Selangor, pahang dan Kedah pada fase berikutnya. Peristiwa ini memperkukuhkan eksistensi dan merupakan pencapaian prestasi tertinggi yang dicapai orang Bugis di tanah perantauan kawasan nusantara.

Solidaritas Siri' & Pesse
 
Sepanjang sejarah sosiokultural orang Bugis, budaya mengembara dan merantau nampaknya merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki mereka hingga hari ini. Inilah barangkali yang menjadikan orang Bugis banyak tersebar di hampir seluruh kawasan nusantara. Daya adaptasi terhadap keadaan dan situasi yang dihadapi sangat mengagumkan, sehingga modal inilah yang memudahkan mereka untuk dapat diterima dan boleh ikut berkiprah di berbagai wilayah. 

Kekuatan tradisi dan nilai-nilai budaya merupakan mental dan norma mendasar yang senantiasa dipegang dimanapun meraka berada. Secara umum orang bugis adalah orang yang memiliki semangat tinggi dan pemberani, tidak bisa menerima perlakuan yang sewenang-wenang, mampu menjalankan kegiatan paling berbahaya sekalipun. Sekali terikat dengan perjanjian dia pasti akan memenuhinya, dan orang bugis dikenal tak pernah mengingkari perjanjian yang dibuatnya. 

Dalam kehidupan orang bugis, siri’ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain daripada siri’. Bagi orang bugis, siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka orang bugis akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka.
 
Dengan demikian siri’ bukan semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara spontan. Siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat bugis. Selain daripada siri’, pesse’ atau lengkapnya pesse’ babua, yang bererti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial dimana mereka berada. 

Hal ini melambangkan bahwa solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun bagi juga siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Pesse’ bersama merupakan pengikat para anggota kelompok sosial, hal ini tentu juga berlaku untuk kelompok etnis. 

Jadi rasa saling pesse’ antar anggota sebuah kelompok sosial adalah kekuatan pemersatu yang penting. Misalnya pesse’ diantara orang-orang yang sedang mengalami penderitaan dalam peperangan atau perantauan, sehingga mereka siap saling membantu kapan saja diperlukan. Perjanjian antara dua orang menjadi sesama saudara, begitu pula kesadaran sebagai anggota sebuah kelompok yang sama, dengan demikian membawa pula tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan, agar tidak kehilangan kehormatan. Antara siri’ dan pesse’ harus tetap ada keseimbangan agar saling menetralisir titik ekstrem masing masing. Inilah barangkali menjadi fondasi yang kuat bagi mereka untuk lebih tetap bisa lebih eksis dan survive dimana-mana.

Anda sedang membaca artikel tentang Asas Relasi & Solidaritas Orang Bugis di Tanah Melayu dan anda bisa menemukan artikel Asas Relasi & Solidaritas Orang Bugis di Tanah Melayu ini dengan url http://hasyimustamin.blogspot.com/2012/12/akar-relasi-solidaritas-orang-bugis-di.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Asas Relasi & Solidaritas Orang Bugis di Tanah Melayu ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Asas Relasi & Solidaritas Orang Bugis di Tanah Melayu sumbernya.

No comments: