Select Language

Tuesday, December 4, 2012

Memperjudikan Kurikulum

Ada banyak alasan yang membuat kita kecewa dengan kurikulum pendidikan di negeri ini. Implementasi berbagai model kurikulum sejak pasca kemerdekaan hingga era reformasi belum juga memadai untuk menghadirkan kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih adil, beradab dan berkarakter.
Pergantian kurikulum yang kesannya acap kali dilakukan hampir di setiap pergantian menteri; menjadi wacana paling dominan yang menghiasi wajah pendidikan di Indonesia. Wacana ini sebenarnya tanpa disadari memantulkan kecemasan ihwal krisis ilmu pengetahuan (crisis of knowledge). Ketidakjelasan arah dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai menunjukkan kebingungan dan tampilan spekulatif yang menghiasi kancah perubahan kurikulum. Spekulasi inilah yang senantiasa membiakkan kegamangan pelaksana pendidikan (baca: guru) di lapangan.

Fenomena bongkar pasang kurikulum yang kembali akan diterapkan pelaksanaanya pada tahun 2013 mendatang ini dapat ditelisik jauh ke belakang sebagai bagian dari apa yang disebut oleh Naquib Al-Attas (2007) sebagai “corruption of knowledge” alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu terjadi karena kerusakan ilmu. Kerusakan ilmu tercermin dari kekeliruan sikap terhadap makna keadilan dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan. Adil berarti faham mengenai pelaksanaan tempat kedudukan dan keadaan yang sesuai dan wajar dalam setiap momen perubahan kurikulum di setiap satuan pendidikan yang ada.

Kerusakan ilmu ini disebabkan oleh anarki intelektual yang menjelma dalam sosok ilmuwan palsu yang sebenarnya tidak berdaya mengenal pasti dan memilah berbagai masalah mendasar dalam pendidikan yang dapat memperbetulkan keadaan. Institusi pendidikan (sekolah) sebagai salah satu medan penyemaian ilmu dan adab terus menerus mengalami proses penggerogotan makna kurikulum. Seyogianya sistem pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum adalah sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang termaktub dalam perundangan dan sistem pendidikan kurang diselami secara mendalam. Interpretasi kurikulum kelihatan lebih diorientasikan lebih pada kuantitas daripada kualitas pada semua tingkatan.

Pengembangan kurikulum terperangkap oleh himpitan perubahan kebutuhan kultur lokal dan global yang terus menerus berubah. Perubahannya pun memesonakan tujuan-tujuan beraroma bombastis-pragmatis yang berdaya guna praktis dan material yang tiada penghujungnya. Potret masa depan anak didik yang ingin dipersembahkan pun menjadi kabur di sebalik hentakan truf perubahan sosial-global yang senantiasa menghantui.

Tak heran jika setiap pergantian kurikulum menjadi bias tidak terarah, rentan diterjemahkan ala kadarnya, sekedar mengurangi atau menambahkan mata pelajaran. Malah, perubahan kurikulum hanya sebatas perubahan nama bak melepas kahak di tenggorokan. Lantaran salah konsep inilah penataan kurikulum kesannya asal-asalan dan tidak mencapai sasaran. Padahal, pengurangan dan penambahan mata pelajaran itu bukan makna dari perubahan kurikulum. 

Mestinya guru dan orang tua murid tidak boleh ditinggal bingung begitu saja oleh gema konsep-konsep kosong kurikulum lama yang dianggap sudah basi, dan semboyan-semboyan samar yang disarukan ke dalam kurikulum baru sebagai konsep-konsep mendalam. Mestinya, para pemegang kebijakan pendidikan sejak jauh hari bisa menjelaskan alasan perubahan kurikulum kepada masyarakat secara transparan dan berwibawa. Ini bertujuan untuk mengkaji masalah-masalah yang dihadapi sekolah, utamanya dari segi proses pengajaran dan pembelajarannya, penyediaan dan penggunaan alat bantu pengajaran, manajemen pendidikannya di sekolah dan keterlibatan orang tua.

Sudah hampir tiga kali pergantian kurikulum yang telah dilakukan dalam interval masa sepuluh tahun terakhir sejak pasca reformasi. Dari KBK (2004), KTSP (2006) dan Kurikulum 2013 yang segera akan dilaksanakan. Sungguh menjadi kejanggalan yang luar biasa jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Jepang, Malaysia yang rata-rata pengembangan kurikulumnya dilakukan di atas rata-rata sepuluh tahun.

Oleh itu, ada kewajiban untuk menunjukkan penelitian mengenai tidak efektifnya kurikulum yang sudah dilaksanakan dan apa hasilnya sehingga harus diubah. Alasannya harus benar dan sesuai secara pedagogis. Jangan hanya karena sudah menjadi rencana kerja yang sudah kadung dianggarkan, lalu anak didik menjadi korban gambling policy penyelenggara pendidikan. Setiap pergantian kurikulum bukan sebagai medan eksperimen untung-untungan yang memperjudikan nasib anak bangsa ke depan.

Perubahan kurikulum harus dilandasi oleh falsafah dan tujuan pendidikan yang kokoh, bukan hanya merupakan pemberosan aset intelektual dan anggaran dana pendidikan. Mungkin kurikulum bisa direvisi begitu mudahnya, bahkan mungkin guru bisa dipaksakan mengajarkannya di sekolah. Tapi, semua itu tidak cukup untuk mampu mengaplikasikan ide-ide dan menginterpretasikannya dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa yg dihadapi tanpa konsistensi dan keseriusan mendalam. 

Berapapun jumlah anggaran dana pendidikan yang disiapkan oleh pemerintah tidak akan memberi perubahan yang signifikan jika pola mental ganti menteri ganti kurikulum masih dipraktekkan. Makanya tidak heran jika berbagai kerunyaman dari berbagai kombinasi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini belum sepenuhnya benar-benar bisa ditundukkan atau dimenangkan.


Anda sedang membaca artikel tentang Memperjudikan Kurikulum dan anda bisa menemukan artikel Memperjudikan Kurikulum ini dengan url http://hasyimustamin.blogspot.com/2012/12/memperjudikan-kurikulum.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Memperjudikan Kurikulum ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Memperjudikan Kurikulum sumbernya.

No comments: