Select Language

Thursday, December 6, 2012

Tawuran & Problem Dikotomi Ilmu


Tawuran siswa dan mahasiswa yang kembali menghiasi media massa akhir-akhir ini muncul sebagai tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pelajar terlibat tawuran? Padahal pelajar menempati golongan kelas terdidik yang berperan sebagai agen of change yang akan menjadi pemegang estapet generasi mendatang.

Wacana yang kemudian berkembang mengenai sebab musabab terjadinya tawuran ialah karena kurangnya nilai-nilai dan didikan agama pada diri siswa. Kecenderungan ini melihat tawuran sebagai sebuah konflik dua kumpulan pelajar yang minim pengetahuan agama. Hipotesisnya, tawuran dapat diselesaikan jika waktu pembelajaran agama ditambahkan.

Ada juga yang menilai terjadinya bentrok antar pelajar karena minimnya penegakan hukum dan disiplin yang dijalankan oleh pihak terkait baik dalam lingkungan akademik di sekolah maupun perguruan tinggi. Tak pelak lagi, menteri langsung turun tangan yang akan menerapkan disiplin akibat kejadian tawuran pelajar yang semakin membimbangkan.

Olehnya itu, penambahan waktu pelajaran agama jika benar diberlakukan justru hanya akan semakin menuai perdebatan dan menambah beban. Juga persepsi terhadap pelajaran agama sebagai benteng moral – tak ubahnya hanya menjadi momok yang akan “menghukum” guru atau dosen agama jika gagal mendidik pelajarnya yang asusila. Mungkin solusi ini sekilas bisa menambahi pengkayaan pada aspek kognitif pelajar, tapi tidak untuk membentuk sikap mental atau keperibadian anak didik. Ini sama halnya dengan seorang guru matematika yang memberikan kursus tambahan kepada anak muridnya agar pintar menghitung, tapi anak-anak tersebut tidak memiliki perhitungan dalam segala tindakan kesehariannya. Gerakan untuk menerapkan disiplin dan hukum yang lebih ketat juga tidak cukup sebab implikasinya bisa menimbulkan tekanan yang bisa digolongkan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih runyam.

Bagaimanapun, tawuran sejatinya merupakan manifestasi perilaku dan pikiran yang mencerminkan adanya problem psikologis dari sikap personal siswa atau mahasiswa yang terlibat. Dari sudut kognitifnya, terjadi dikotomi ilmu dan pendidikan yang sudah meresap masuk ke dalam pikiran dan diri pelajar.
Fenomena ini terjadi karena pelajar terlalu banyak disuguhkan pengetahuan dan informasi yang hanya bersandarkan kepada rasio dan tak jarang realitas empiris menyuguhkannya berlainan. Akibatnya, teori dan konsep ilmu pengetahuan hanya mampu singgah di akal yang kadangkala terpisah dari sisi nyata kehidupan pelajar. Mereka lemah di bidang pengendalian diri karena kurang mengasah kepekaan, kesadaran dan keyakinan hati. Makanya tak heran jika sikapnya sering berujung pada perbuatan anarki. Mestinya akal dan hati harus diseimbangkan.

Dikotomi ilmu juga terjadi karena konstruksi atau bangunan keilmuan yang diajarkan baik disekolah maupun di perguruan tinggi masih beraroma warisan budaya ilmu penjajah asing yang sekuler, tidak menggunakan pendekatan integratif yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum. Ilmu yang bersumber dari ajaran agama (naqliyyah) tidak menjadi asas kepada ilmu umum (aqliyyah). Ilmu agama dan umum terpisah.

Meskipun materi subjek agama juga diajarkan, namun kedudukannya hanya sebagai mata pelajaran pelengkap yang tidak difungsikan untuk membentuk pandangan hidup pelajar. Kandungan pelajaran agama terkotakkan dalam bentuk ajaran doktrinasi dan praktek ritualitas keagamaan yang membosankan. Sedangkan pelajaran umum lainnya yang lebih dominan seakan bebas nilai, tidak memiliki keterpautan pengajaran dengan nilai-nilai agama yang sepatutnya saling berhubungan.

Dalam perspektif Islam, sistem keyakinan yang bertapak di hati akan membentuk pandangan hidup yang kemudiannya membentuk nilai seseorang terhadap apa yang dirasai dan diyakini benar, baik dan betul. Nilai kemudiannya membentuk sikap. Sikap itulah yang akan melahirkan kelakuan dan karakter. Karakter yang sinonim dengan peribadi seseorang itulah yang membentuk personal dan identitas pelajar.

Mayoritas pelajar sebenarnya akan mempercayai kalau tawuran itu tidak baik. Tapi ketika terjadi tawuran egonya tak mampu dikawal oleh akalnya karena kawalan dirinya yang rapuh. Mungkin ada juga benarnya jika pengetahuan yang diperolehi pelajar di sekolah atau perguruan tinggi belum berhasil membentuk pertimbangan moral dan karakter pelajar yang sopan dan beradab.
Konflik dalam hubungan keluarga, dan orang tua yang terlalu memasrahkan sepenuhnya pendidikan kepada institusi pendidikan formal turut memberi kontribusi negatif terhadap kondisi pelajar. Begitu pula suasana akademik di sekolah dan kampus yang beraroma politis tak jarang juga memperlihatkan cerminan adanya kubu-kubu baik dalam pemilihan rektor, dekan dan ketua jurusan dan senat fakultas yang memperebutkan kepentingan dominasi pribadi dan kelompok. Belum lagi situasi sosial-politik yang tidak kondusif dan budaya materialis yang semakin menggila, juga semakin santernya pengaruh media dan jejaring sosial di dunia maya.

Tidak adanya kepastian hukum dan politik dalam wilayah publik juga turut menciptakan frustasi sosial yang dialami siswa dan mahasiswa sebagai generasi muda. Tak jarang mereka yang terlibat tawuran menganggap perilaku menyimpang dan ganas tersebut sebagai ekspresi dari pencarian jati diri remaja bagi menemukan identitas diri dan kelompoknya.

Hasilnya, lembaga pendidikan formal baik menengah dan tinggi sepertinya tidak berfungsi secara organik sebagai pembentuk kepribadian pelajar yang utuh baik dari segi jasmani dan rohaninya yang berimbang. Pelajar seakan kehilangan arah tujuan dan menghadapi konflik antara apa yang dipelajarinya dengan yang harus diamalkannya. Fahamnya terhadap ilmu berada dalam dualisme antara pengetahuan dan perbuatan yang sering menghasilkan pertentangan.

Tidak heran jika mereka yang terlibat tawuran tersebut melakonkan dua watak sekaligus, yaitu sebagai pelajar dan pengganas (Pelajar yang ganas). Anehnya, kejadian  tawuran ini sering melibatkan kalangan pelajar di sekolah atau perguruan tinggi negeri atau swasta, bukan pelajar madrasah atau kalangan santri di pesantren yang kerap dilabelkan sebagai sarang teroris dan pengganas.

Anda sedang membaca artikel tentang Tawuran & Problem Dikotomi Ilmu dan anda bisa menemukan artikel Tawuran & Problem Dikotomi Ilmu ini dengan url http://hasyimustamin.blogspot.com/2012/12/tawuran-problem-dikotomi-ilmu.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Tawuran & Problem Dikotomi Ilmu ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Tawuran & Problem Dikotomi Ilmu sumbernya.

No comments: