Tawuran siswa dan mahasiswa yang kembali menghiasi media massa
akhir-akhir ini muncul sebagai tamparan keras bagi dunia pendidikan
kita. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pelajar terlibat tawuran?
Padahal pelajar menempati golongan kelas terdidik yang berperan sebagai agen of change yang akan menjadi pemegang estapet generasi mendatang.
Wacana yang kemudian berkembang mengenai sebab musabab terjadinya
tawuran ialah karena kurangnya nilai-nilai dan didikan agama pada diri
siswa. Kecenderungan ini melihat tawuran sebagai sebuah konflik dua
kumpulan pelajar yang minim pengetahuan agama. Hipotesisnya, tawuran
dapat diselesaikan jika waktu pembelajaran agama ditambahkan.
Ada juga yang menilai terjadinya bentrok antar pelajar karena
minimnya penegakan hukum dan disiplin yang dijalankan oleh pihak terkait
baik dalam lingkungan akademik di sekolah maupun perguruan tinggi. Tak
pelak lagi, menteri langsung turun tangan yang akan menerapkan disiplin
akibat kejadian tawuran pelajar yang semakin membimbangkan.
Olehnya itu, penambahan waktu pelajaran agama jika benar diberlakukan
justru hanya akan semakin menuai perdebatan dan menambah beban. Juga
persepsi terhadap pelajaran agama sebagai benteng moral – tak ubahnya
hanya menjadi momok yang akan “menghukum” guru atau dosen agama jika
gagal mendidik pelajarnya yang asusila. Mungkin solusi ini sekilas bisa
menambahi pengkayaan pada aspek kognitif pelajar, tapi tidak untuk
membentuk sikap mental atau keperibadian anak didik. Ini sama halnya
dengan seorang guru matematika yang memberikan kursus tambahan kepada
anak muridnya agar pintar menghitung, tapi anak-anak tersebut tidak
memiliki perhitungan dalam segala tindakan kesehariannya. Gerakan untuk
menerapkan disiplin dan hukum yang lebih ketat juga tidak cukup sebab
implikasinya bisa menimbulkan tekanan yang bisa digolongkan pelanggaran
hak asasi manusia yang lebih runyam.
Bagaimanapun, tawuran sejatinya merupakan manifestasi perilaku dan
pikiran yang mencerminkan adanya problem psikologis dari sikap personal
siswa atau mahasiswa yang terlibat. Dari sudut kognitifnya, terjadi
dikotomi ilmu dan pendidikan yang sudah meresap masuk ke dalam pikiran
dan diri pelajar.
Fenomena ini terjadi karena pelajar terlalu banyak disuguhkan
pengetahuan dan informasi yang hanya bersandarkan kepada rasio dan tak
jarang realitas empiris menyuguhkannya berlainan. Akibatnya, teori dan
konsep ilmu pengetahuan hanya mampu singgah di akal yang kadangkala
terpisah dari sisi nyata kehidupan pelajar. Mereka lemah di bidang
pengendalian diri karena kurang mengasah kepekaan, kesadaran dan
keyakinan hati. Makanya tak heran jika sikapnya sering berujung pada
perbuatan anarki. Mestinya akal dan hati harus diseimbangkan.
Dikotomi ilmu juga terjadi karena konstruksi atau bangunan keilmuan
yang diajarkan baik disekolah maupun di perguruan tinggi masih beraroma
warisan budaya ilmu penjajah asing yang sekuler, tidak menggunakan
pendekatan integratif yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum. Ilmu
yang bersumber dari ajaran agama (naqliyyah) tidak menjadi asas kepada ilmu umum (aqliyyah). Ilmu agama dan umum terpisah.
Meskipun materi subjek agama juga diajarkan, namun kedudukannya hanya
sebagai mata pelajaran pelengkap yang tidak difungsikan untuk membentuk
pandangan hidup pelajar. Kandungan pelajaran agama terkotakkan dalam
bentuk ajaran doktrinasi dan praktek ritualitas keagamaan yang
membosankan. Sedangkan pelajaran umum lainnya yang lebih dominan seakan
bebas nilai, tidak memiliki keterpautan pengajaran dengan nilai-nilai
agama yang sepatutnya saling berhubungan.
Dalam perspektif Islam, sistem keyakinan yang bertapak di hati akan
membentuk pandangan hidup yang kemudiannya membentuk nilai seseorang
terhadap apa yang dirasai dan diyakini benar, baik dan betul. Nilai
kemudiannya membentuk sikap. Sikap itulah yang akan melahirkan kelakuan
dan karakter. Karakter yang sinonim dengan peribadi seseorang itulah
yang membentuk personal dan identitas pelajar.
Mayoritas pelajar sebenarnya akan mempercayai kalau tawuran itu tidak
baik. Tapi ketika terjadi tawuran egonya tak mampu dikawal oleh akalnya
karena kawalan dirinya yang rapuh. Mungkin ada juga benarnya jika
pengetahuan yang diperolehi pelajar di sekolah atau perguruan tinggi
belum berhasil membentuk pertimbangan moral dan karakter pelajar yang
sopan dan beradab.
Konflik dalam hubungan keluarga, dan orang tua yang terlalu
memasrahkan sepenuhnya pendidikan kepada institusi pendidikan formal
turut memberi kontribusi negatif terhadap kondisi pelajar. Begitu pula
suasana akademik di sekolah dan kampus yang beraroma politis tak jarang
juga memperlihatkan cerminan adanya kubu-kubu baik dalam pemilihan
rektor, dekan dan ketua jurusan dan senat fakultas yang memperebutkan
kepentingan dominasi pribadi dan kelompok. Belum lagi situasi
sosial-politik yang tidak kondusif dan budaya materialis yang semakin
menggila, juga semakin santernya pengaruh media dan jejaring sosial di
dunia maya.
Tidak adanya kepastian hukum dan politik dalam wilayah publik juga
turut menciptakan frustasi sosial yang dialami siswa dan mahasiswa
sebagai generasi muda. Tak jarang mereka yang terlibat tawuran
menganggap perilaku menyimpang dan ganas tersebut sebagai ekspresi dari
pencarian jati diri remaja bagi menemukan identitas diri dan
kelompoknya.
Hasilnya, lembaga pendidikan formal baik menengah dan tinggi
sepertinya tidak berfungsi secara organik sebagai pembentuk kepribadian
pelajar yang utuh baik dari segi jasmani dan rohaninya yang berimbang.
Pelajar seakan kehilangan arah tujuan dan menghadapi konflik antara apa
yang dipelajarinya dengan yang harus diamalkannya. Fahamnya terhadap
ilmu berada dalam dualisme antara pengetahuan dan perbuatan yang sering
menghasilkan pertentangan.
Tidak heran jika mereka yang terlibat tawuran tersebut melakonkan dua
watak sekaligus, yaitu sebagai pelajar dan pengganas (Pelajar yang
ganas). Anehnya, kejadian tawuran ini sering melibatkan kalangan
pelajar di sekolah atau perguruan tinggi negeri atau swasta, bukan
pelajar madrasah atau kalangan santri di pesantren yang kerap dilabelkan
sebagai sarang teroris dan pengganas.
No comments:
Post a Comment